17 Desember 2011

Korupsi dan (Pembela) Koruptor (Refleksi Hari Anti Korupsi)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA

Saat era reformasi bergulir, ada  enam tuntutan  yang harus dikerjakan. Tuntutan untuk  mengembalikan  Indonesia kepada jalur yang “benar”. Setelah terkekang sekian lama dalam kurungan rezim orde baru. Salah satu tunutan reformasi tersebut yakni pemberantasan korupsi. Bahkan sampai hari ini tuntutan itu masih terus bergulir.
 Walaupun segala upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi termasuk mendirikan Komisi Pemberntasan Korupsi sebagai “kekecewaan” terhadap peran lembaga kepolisian dan kejaksaan. Namun upaya-upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil memuaskan. Korupsi tetap tumbuh subur di negeri ini.
Meskipun sudah banyak pelaku korupsi (koruptor) yang dihukum tetapi tidak memberi efek jera. Hampir setiap saat kasus korupsi terungkap. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah untuk didengar. Mulai dari Anggota Dewan, Menteri, Kepala Daearah, Hakim, Jaksa, Pengacara tak luput dari hukuman.  Benarkah korupsi sudah “membudaya”?.
Besar atau kecil uang negara yang dirampok oleh koruptor tetap tidak dapat dimaafkan. Korupsi telah memumupuskan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat. Korupsi salah satu penyebab negara ini masih terbelenggu oleh kemiskinan. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat hilang dirampok begitu saja oleh para koruptor. Sehingga sungguh ironis ketika para koruptor dibiarkan lolos atau bebas begitu saja dari jeratan hukum.

27 Oktober 2011

Sumpah Pemuda Dan Pemuda “Sampah”


Oleh : Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA
Padang Ekspres, 27 Oktober 2011

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia. Pada saat itu, para pemuda Indonesia hadir dalam Kongres Pemuda Kedua di Jakarta yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Pada penutupan Kongres Kedua ini dibacakan rumusan hasil kongres. Hasil rumusan kongres itulah yang disebut sumpah  pemuda.
Sumpah pemuda merupakan awal dari kelahiran bangsa Indonesia. Dimana selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan penjajah.  Kondisi ketertindasan ini mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad memperjuangkan kemerderkaan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya  pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mengapa sumpah pemuda merupakan awal kelahiran bangsa Indonesia?. Menurut Imran Thahir (2010) dalam tulisannya Membaca Kembali Makna Sumpah Pemuda, Peristiwa sumpah pemuda memberi hikmah. Pertama,sumpah pemuda sebagi catatan penting dalam mempersatukan perjuangan pemuda dan perjuangan bangsa secara terpadu. Kedua, Sumpah Pemuda meletakkan arah dan tujuan perjuangan menentang kolonialisme. Sehingga, ketiga, Sumpah Pemuda sejatinya adalah genealogi-politik menuju proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Penulis sependapat dengan Imran Thahir, kerena proklamsi kemerderkaan Indonesia tidak akan terwujud jika pemuda tidak mempersatukan diri. Cita-cita luhur para pemuda yang hadir dalam kongres membawa semangat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Menghidupkan Semangat (Sumpah) Pemuda


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA

“ Beri Aku 10 Pemuda, Maka Akan Kuguncang Dunia”
Pernyataan Bung Karno diatas menggambarkan betapa pentingnya eksistensi pemuda dalam bangsa ini. Bukan tanpa alasan, pemuda selalu memliki semangat besar dalam membawa perubahaan. Sehingga kemunculan tokoh-tokoh muda selalu dinanti-nantikan. Sebelum Indonesia merdeka, tokoh-tokoh muda banyak bermunculan untuk merperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Diantaranya Bung Karno, Bung Hatta, dan Moh. Yamin. Cita-cita mereka hanya satu yakni: Indonesia merdeka!
Namun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, tokoh-tokoh muda itu mulai hilang satu persatu tanpa pengganti. Selain itu, semangat pemuda yang pernah membara dalam Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 28 Oktober 1928 lekang dimakan waktu. Sumpah Pemuda sebagai hasil rumusan Kongres Pemuda Kedua hanya menyisakan tulisan-tulisan yang tertata rapi di dalam catatan sejarah. Jika sumpah pemuda dapat diplesetkan, inilah sumpah pemuda yang melekat pada pemuda hari ini.     
Kami putra dan putri Indonesia, rela bertumpah darah yang satu, tanah air penuh penderitaan. Kami putra dan putri Indonesia, rela berbangsa yang satu, bangsa penuh penidasan. Kami putra dan putri Indonesia, rela berbahasa yang satu, bahasa penuh  kebohongan.

22 Oktober 2011

Menunggu Keberhasilan SBY (Refleksi 2 Tahun Pemerintahan SBY-Boediono)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA

2 tahun sudah pemerintahan SBY-Boediono atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II berjalan. Namun SBY-Boediono belum mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Tingginya angka putus sekolah akibat mahalnya harga pendidikan, bertambahnya kemiskinan dan pengganguran yang diperparah oleh kelaparan dan penderitaan sebahagian masyarakat, tumbuh suburnya para koruptor dan mafia hukum diiringi buruknya kinerja aparat penegak hukum merupakan sebahagian PR yang belum terselesaikan.
Memang perlu diakui untuk merubah sebuah negara ke arah yang lebih baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi masalah waktu tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi SBY. SBY tidak hanya memimpin negara ini selama 2 tahun melainkan sudah 7 tahun. SBY tinggal melanjutkan 5 tahun kepemimpinannya bersama Yusuf Kalla. Tentunya sebuah rentang waktu yang cukup untuk membawa perubahan bagi bangsa ini. Namun kenyataannya SBY dinilai gagal dalam menjalankan pemerintahan. Berbagai survey memperlihatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan semakin menurun.

20 September 2011

Menuju (World Class) University

Oleh : Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Haluan, 18 September 2011

Perguruan Tinggi kini dihadapkan pada suatu persoalan dalam menjalankan peranan sebagai penghasil kaum intelektual muda. Institusi pendidikan tertinggi ini harus  terus bersaing ditengah percaturan dunia jika tak ingin ditinggalkan mahasiswa. Apalagi universitas diluar negeri semakin diminati oleh anak bangsa sendiri. Belum lagi ditambah beasiswa menggiurkan dari berbagai pihak untuk biaya kuliah di luar negeri. Ironisnya, beasiswa tersebut justru berasal dari pemerintah seperti Kementerian Pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahpun lebih bangga terhadap kualitas perguruan tinggi di negera orang lain. Atau pesimis terhadap kualitas perguruan tinggi di negeri sendiri.
Tak dapat dipungkiri pula sebahagian besar orangtua pasti bangga dapat melihat anaknya yang memiliki prestasi akademik  menamatkan kuliah di universitas terkemuka di dunia dibandingkan di Indonesia. Sehingga melihat anaknya kuliah keluar negeri baik melalui beasiswa maupun dengan biaya sendiri bagi yang kaya menjadi cita-cita utama. Namun hal inilah yang menyebabkan universitas di Indonesia semakin juah tertinggal.  Buktinya, sampai saat ini, tak satupun universitas di Indonesia mampu menembus peringkat 100 universitas top dunia walaupun telah berdiri puluhan tahun. Padahal negara kecil seperti Singapura telah menempatkan satu universitas terbaiknya di urutan keempat puluh. Tetapi bukan semakin termotivasi, perguruan tinggi di Indonesia justru “bangga” melihat ketertinggal tersebut.

KKN Minus Pengabdian

Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA dan Mahasiswa KKN-PPM 2011
Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Dan Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) telah berakhir. Kegiatan yang diikuti oleh tiga Perguruan Tinggi Sumbar ditambah satu perguruan tinggi di Malaysia berlangsung dari tanggal  11 juli-13 Agustus 2011 . Kegiatan yang bertujan untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah sekaligus sebagai pengabdian universitas kepada masyarakat dalam melaksanakan tri dharma perguruan tinggi patut dievaluasi.
Sebagai pemahaman bersama, ada dua hal yang perlu digarisi bawahi dari pengertian KKN-PM tersebut. Pertama, KKN sebagai pembelajaran masyarakat. Dalam hal ini mahasiswa akan berbagi ilmu dengan masyarakat mengenai bidang ilmu yang dipelajarinya. Kedua, KKN sebagai pemberdayaan masyarakat. Artinya, mahasiswa akan memfasilitasi masyarakat untuk membantu meyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Mahasiswa bersama masyarakat  mencari alternative pemecahan masalah untuk menemukan solusinya. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa KKN diharapkan dapat mengatasi persoalan masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan pada akhirnya KKN sebagai salah satu cara untuk membangun nagari. Namun apakah KKN-PPM tahun ini sesuai dengan yang diharapkan?.

20 Agustus 2011

Benarkah Indonesia Merdeka? (Refleksi Hari Kemerdekaan)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand
66 tahun sudah Indonesia merdeka. Telah jauh lepas dari belenggu penjajah. Meninggalkan masa lalu penuh perjuangan dan pengorbanan. Darah para pahlawanpun telah mengering. Yang tersisa hanyalah sejarah tentang merebut sebuah kemerdekaan beserta makam pahlawan dan bangunan tua peninggalan sejarah. Lalu benarkah Indonesia merdeka?. Benar. Tetapi baru merdeka dari bangsa penjajah. Namun tidak atau tidak akan pernah merdeka dari keserakahan anak bangsa akan harta dan tahta yang terus menjajah.  
Walaupun sudah merdeka namun kemiskinan masih melanda. Korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur di tengah penderitaan rakyat. Angka penganguran dan kriminalitas melambung tinggi. Kekerasan menjadi tontonan dimana-dimana. Mulai dari perang kampung hingga perang akibat pemilukada. Hak warga negara mulai diprivatisasi dan dikomersialisasi khususnya dibidang pendidikan. Namun pemerintah terus  menutup mata dan teliga. Kurang peka melihat permasalahan bangsa. Akhirnya demo menjadi agenda rutin karena pemerintah gagal menjalankan pemerintahannya. Itukah tanda sudah kemerdekaan?

DPR(D) dan Koruptor (Sakit)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA

“ Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju”. Begitulah sepenggal lirik lagu surat buat wakil rakyat (red- anggota dewan) dari Iwan Fals. Lagu yang sebenarnya menyindir kinerja anggota dewan yang dinilai gagal dalam menyampaikan suara rakyat.
Bahkan akhir-akhir ini buruknya kinerja wakil rakyat di perparah dengan kasus korupsi yang dilakukan anggota dewan tersebut baik ditingkat pusat maupun daerah yaitu DPR dan DPRD, dua institusi “kumpulan orang hebat” di negeri ini. Ironis memang jika wakil rakyat justru terjerat kasus korupsi. Padahal sejatinya wakil rakyat merupakan perpanjangan tangan dari rakyat. Dan korupsi hanya akan menambah penderitaan rakyat.
 Beberapa tahun terakhir sudah banyak anggota dewan yang tersangkut kasus korupsi. Mungkin masyarakat Sumbar masih ingat dengan kasus korupsi berjamah anggota DPRD Sumbar. Kasus Al Amin Nasution yang yang divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada tahun 2009. Lalu kasus korupsi Djufri (Anggota DPR dan Mantan Walikota Bukittinggi ) yang ditangani Kejaksaan Tinggi Padang. Dan terakhir kasus M Nazaruddin kader dari partai demokrat.

Lebih Baik Kuliah Di Indonesia?


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Haluan, 27 Juli 2011
Menarik ketika membaca salah satu tulisan Irwan Prayitno (Gubernur Sumbar) yang berjudul kuliah di Amerika?. Dalam tulisannya Irwan Prayitno mengatakan bahwa jika ingin menjadi lebih baik dan ingin menempatkan putra-putri negeri  ini di kancah dunia,  menimba ilmu di perguruan tinggi terbaik dunia merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Lalu benarkah demikian?
Jika di lihat dari rangking universitas terbaik di dunia, perguruan tinggi Indonesia memang belum mampu menembus peringkat terbaik di dunia. Masih jauh tertinggal dari negara tetangga Singapura bahkan Malaysia yang pernah berguru ke Indonesia. Sehingga sangat sulit untuk mensejajarkan diri dengan universitas ternama di dunia sepert Harvad University. Butuh waktu yang cukup lama untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Namun pilihan untuk menimba ilmu ke luar negeri sebagai salah satu jalan agar putra putri Indonesia dapat bersaing dikancah internasional adalah pilihan yang kurang tepat. Kuliah ke luar negeri bukan merupakan solusi terbaik untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. Mengapa demikian?
Ketika putra-putri negeri ini berpacu untuk dapat mengenyam pendidikan di luar negeri maka perguruan tinggi di Indonesia akan semakin tertinggal. Perguruan tinggi akan kehilangan calon mahasiwa-mahasiswi yang diharapkan dapat mengharumkan nama kampus. Karena lebih memilih kuliah ke luar negeri. Misalnya disaat ada perlombaan tingkat Internasional, tentunya perguruan tinggi tidak memiliki wakil yang akan di ikutsertakan. Kalaupun ada mungkin tidak sebaik yang diharapakan. Padahal selama ini beberapa perguruan tinggi di Indonesia mampu bersaing di kancah internasional melalui mahasiswanya di event bergengsi dan mampu menyabet medali emas. Namun apabila kuliah ke luar negeri menjadi pilihan utama maka mustahil prestasi tersebut dapat diraih kembali.
Selain itu, acapkali mahasiswa yang telah menamatkan kuliahnnya diluar negeri enggan pulang ke Indonesia. Peluang kerja yang menggiurkan serta peluang mendapatkan penghasilan besar “membutakan” mata hatinya untuk mengabdikan diri di tanah kelahirannya.Walaupun ada yang pulang, namun hanya sebahagian kecil dari mereka yang merupakan lulusan terbaik. Selebihnya melanjutkan karir disana.
Beasiswa luar negeri yang selama ini diberikan tak jarang pula merupakan agenda terselubung untuk merekrut putra-putri terbaik bangsa ini. Agenda yang sudah cukup lama tercium. Beasiswa tersebut sebagai salah satu bujuk rayu asing dalam mencari manusia cerdas Indonesia yang akan dimanfatkan untuk memperoleh keuntungan si pemberi beasiswa. Jika dapat menjadi yang terbaik tentunya akan di recrut. Namun sebaliknya jika tidak, dipersilahkan pulang begitu saja ke tanah kelahirnya. Jikapun ada yang terbaik pulang ke Indonesia, merekalah yang masih peduli dengan Indonesia.
Jalan Keluar
            Menurut penulis perbaikan mutu pendidikan perguruan tinggi adalah langkah awal yag harus dilakukan. Jika memang ingin putra-putri negeri ini dapat bersaing di tingkat internasional tanpa kuliah keluar negeri. Bukankah kita lebih bangga ketika salah satu putra-putri Indonesia mampu bersaing dan berprestasi dimata dunia ternyata menamatkan kuliah di perguruan tinggi di Indonesia.
Saat ini, universitas hanya disibukkan dengan membenahi bagian luar saja. Padahal bagian dalam masih jauh dari yang diharapkan. Slogan world class university” ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Universitas hanya sibuk membangun bangunan fisik dibandingkan memperbaiki kualiatas manusia di dalamnya. Mulai dari pembangunan gedung kuliah yang mewah,  pembangunan market dan pertamina di kampus sebagai ladang basah untuk mencari keuntungan. Namun kualitas atau mutu pendidikan selalu terlupakan.
Pernahkah universitas memperbaiki kinerja dosen yang malas mengajar. Lalai dalam menjalankan tugasnya untuk mengajar mahasiswa. Bahkan pernahkah universitas mengetahui banyak dosen yang tidak pandai bahkan tidak layak mengajar. Hanya sekedar menyampaikan isi buku tanpa memberikan pengetahuan tambahan. Nuat apa dosen tersebut dipertahankan. Toh, lebih baik membeli buku daripada belajar dari dosen tersebut. Akhirnya, universitas lebih peduli dengan tampilan luar di bandingkan tampilan dalam.
Benar yang dikatakan Irwan Prayitno, dari dulu orang Minang sudah terkenal sebagai tokoh yang disegani di tingkat nasional, maupun internasional. Mulai dari M. Hatta sampai kepada Agus Salim. Sehingga sudah saatnya untuk melahirkan kembali tokoh-tokoh tersebut. Tentunya bekal yang lebih baik harus dipersiapkan agar mampu berkiprah lagi di kancah internasional. Namun melahirkan tokoh-tokoh tersebut tidak harus kuliah keluar negeri tetapi memperbaiki sistem pendidikan di dalam negeri sehingga mampu melahirkan generasi terbaik dari perguruan terbaik pula dari negeri sendiri.
Perguruan Tinggi Sumbar
Sumbar dulunya sebagai salah satu lumbung tokoh intelektual yang mampu berbicara banyak di tingkat nasional dan internasional harus segera memperbaiki kualitas perguruan tinggi yang ada. Keberadaan Universitas Andalas dan Universitas Negeri Padang seharusnya kedepan mampu berbicara banyak di tingkat nasional dan internasional agar putra-putri minang dapat bangga kuliah disana.. Bukan sebaliknya malah ditinggalkan. Kalangan kampus harus berpikir jernih melihat kenyataan hari ini bahwa putra-putri minang yang memiliki prestasi lebih memilih kuliah ke pulau jawa atau keluar negeri. Hal seperti inilah yang harus dievaluasi dan diperbaiki. Tentunya suatu saat nanti kita ingin mendengar putra putri terbaik Indonesia mengatakan lebih baik kuliah di Indonesia terutama di Unand atau UNP daripada keluar negeri. Lalu setelah menamatkan kuliah mengabdikan diri di negeri sendiri.

Mahalnya Biaya Perguruan Tinggi


Oleh: Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan Dan Mantan Ketua Forum Peduli Pendidikan
Padeks, 7 Juli 2011

Empat siswi pintar dari SMAN 2 Kota Payakumbuh, SMAN 1 Harau, dan SMAN 1 Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota, terancam tidak bisa mendaftar kuliah di Universitas Andalas dan Universitas Riau, gara-gara keterbatasan ekonomi. Siapa mau peduli? (Padang Ekspres, 5 Juli 2011).
Pendidikan Indonesia kini memasuki fase baru. Suatu fase yang dinamakan komersialisasi pendidikan. Dalam tahap tersebut pendidikan menjadi komoditi mahal yang tak terjangkau. Khusunya perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Setelah 65 tahun merdeka, pendidikan tidak hanya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Melainkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak-pihak tertentu melalui uang masuk kuliah.
 Bila diamati uang masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta yang ada. Pada saat swasta menetapkan uang masuk kuliah yang mahal, kita masih dapat memahaminya karena swasta tidak dibantu oleh negara dalam masalah pendanaan. Namun sungguh ironis jika PTN juga menetapkan hal uang masuk yang mahal. PTN dalam menyelenggarakan pendidikan, pendanaannya di bantu oleh negara. Lalu siapakah yang dapat disalahkan?. Pihak kampus sebagai pembuat kebijakan uang masuk kuliah atau negara yang tak mampu membiayai PTN sepenuhnya?.

Diskriminasi Pendidikan
Uang masuk kuliah saat ini mencapai puluhan juta rupiah. Misalnya di Unand (tempat penulis berkuliah). Sejak tahun 2009, Unand telah menetapkan suatu kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru membayar dana pengembangan institusi (red-uang pembangunan) sebesar 1 juta hingga 22,5 juta rupiah di luar uang SPP dan lain-lain. Jika dikalkulasikan uang masuk Unand antara 5 Juta hingga 25 juta rupiah. Bahkan untuk  jalur mandiri atau ekstensi mencapai 65 juta rupiah untuk fakultas kedokteran gigi. Suatu jumlah yang cukup besar. Padahal berdasarkan pengamatan penulis uang tersebut tidak jelas penggunaannya.
 Realiata uang masuk kuliah Unand yang mahal menjadi sebuah bukti nyata bahwa pendidikan memang mahal dan sulit terjangkau. Setiap tahun biaya tersebut akan terus meningkat seiring kebutuhan atau peminat masyarakat terhadap pendidikan. Dalam perguruan tinggi pun berlaku  hukum jual beli. Dimana semakin banyak permintaan maka semakin naik harga penawaran. Artinya, semakin banyak peminat perguruan tinggi maka semakin mahal uang masuknya.  Sehingga mengakibatkan pendidikan hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang yang mapan secara ekonomi dan mampu bersaing untuk “membeli harga” pendidikan. Apakah  anak petani, buruh maupun kalangan bawah lainnya dapat ikut bersaing?. Walaupun secara ilmu mereka lebih cerdas.  
Ketika pendidikan hanya dapat dirasakan segelintir orang maka lahirlah yang dinamakan diskriminasi pendidikan. Diskriminasi merupakan pelanggaran HAM . Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskirminasi adalah hak setiap warga negara. Tidak ada pembedaan antara si miskin dan si kaya. Konstitusipun telah menjaminnya  dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945. 
Kembali Ke Cita-Cita
Salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah cita-cita luhur yang ada di dalam pikiran founding father setelah 3,5 abad terjajah. Dimana rakyat Indonesia tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Pendidikan dianggap sebuah status sosial bagi orang-orang terpandang. Anak-anak pribumipun akhirnya mengalami pembodohan secara massal. Hanya golongan ningratlah yang bisa merasakan bangku pendidikan. Kondisi hari inipun mengembalikan kita ke masa kelam bangsa Indonesia beberapa abad yang lalu. Namun hak pendidikan kita tidak lagi di jajah oleh bangsa asing. Justru di jajah oleh penguasa di negeri sendiri. Elit pendidikan lupa bahwa akan tujuan negara tersebut akibat terbuai oleh keserakahan dan kekuasaan sesaat.
Tanpa disadari mahalnya uang masuk perguruan tinggi perlahan-lahan akan mengantarkan pendidikan Indonesia menuju jurang kehancuran. Pendidikan telah dimanfaatkan sebagai lahan basah untuk meraup kentuntungan. Cita-cita mulia pendidikan terkikis oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Pendidikan mulai beralih menjadi sebuah komoditi yang dapat diperjualbelikan. Harganya akan terus naik sesuai dengan permintaan pasar. Lambat laun kita pun akan semakin tertinggal dengan negara lainnya dalam bidang pindidikan. Bahkan negara baru merdeka sekalipun.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu kembali kecita-cita luhur bansa ini. Pengembalian cita-cita luhur adalah tugas bersama warga negara terutama pemerintah dan institusi pendidikan. Negara harus menjalankan kewajibannya untuk membiayai pendidikan. Walaupun kewajiban pemerintah hanya sampai kepada pendidikan dasar namun pemerintah memiliki kewajiban kedepan untuk membiayai seluruh jenjang pendidikan sesuai kesepakatan bersama negara-negara di dunia.

Harapan untuk Sumbar
Hampir setiap tahun terdengar bahwa lulus berprestasi harus mengubur impiannya masuk PTN karena terkendala biaya. Padahal mereka adalah yang terbaik di sekolahnya. Namun keadaan ekonomi keluarga membuatnya bersikap pasrah. Hal ini jugalah yang sering terjadi di Sumbar.
 Melihat kondidi ini, PTN di Sumbar seharusnya bisa memulainya terlebih dahulu. Mengembalikkan perguruan tinggi sebagi institusi moral. Bukan sebaliknya menjadi garda terdepan dalam mengkomersialisasikan pendidikan. Dengan memanfaatkan pendidikan sebagai komoditi yang diperjualbelikan.  Perlu diingat, Sumbar pernah melahirkan kaum intelektual yang berjasa bagi bangsa Indonesia seperti M. Hatta, Buya Hamka, Agus Salim, Natsir dan Syahrir. Bagaimana mungkin tokoh-tokoh tersebut bisa terlahir kembali ketika anak cerdas tetapi miskin di rampas haknya akibat dari kebijakan kampus yang menetapkan uang masuk kuliah mahal?. Apalagi di Sumbar , sebahagian besar mayarakat hanya hidup sebagai petani. Haruskah mereka menjual sawah untuk melihat anaknya menjadi sarjana?



Punahnya Sikap Kejujuran


Oleh : Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan dan Mantan Ketua Forum Peduli Pendidikan
Haluan, 29 Juni 2011

Tragedi Tegal cukup menggegerkan kita semua. Sikap jujur yang ditunjukkan wali murid untuk membuka aib dunia pendidikan justru berbuah pahit. Widodo yang melaporkan kecurangan ujian nasional yang terjadi di sekolah anaknya SDN II Gadel Surabaya, lantaran sang anak dipaksa oleh guru untuk menyebarkan contekkan dalam ujian nasional harus pasrah di usir dari rumahnya oleh wali murid lain dan warga sekitar. Padahal dia dan anaknya hanya menjadi korban dari sebuah sistem dalam menetukan kelulusan sekolah.  
            Wali murid lain boleh saja marah karena nasib anaknya terkatung-katung oleh kejadian tersebut. Tetapi dapatkah dibenarkan tindakan mereka mengusir wali murid dan anak jujur yang membuka aib di institusi pendidikan. Aib yang seharusnya tidak terjadi. Bayangkan saja jika nilai kejujuran harus dibayar mahal dalam dunia pendidikan. Satu-satunya intitusi yang diharapkan mampu menghasilkan generasi penerus bangsa ditengah krisis kepemimpinan. Ketika institusi pendidikan menghalalkan kecurangan dan tidak berbuat jujur maka bangsa ini tidak akan pernah dipimpin oleh orang-orang yang jujur.

Transparansi (Korupsi) Dunia Pendidikan


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Haluan,25 Mei 2011
Korupsi dunia pendidikan merupakan masalah besar buat bangsa ini. Perlu diluruskan korupsi tidak hanya menyangkut masalah keuangan. Namun masalah lainnya. Secara harfiah korupsi memiliki makna penyimpangan.
Penyimpangan dunia pendidikan mencakup masalah yang kompleks. Mulai dari korupsi anggaran pendidikan sampai kepada korupsi waktu mengajar. Hal ini sering terjadi dalam proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi.
Dalam hal korupsi yang merugikan kekayaan negara, Komisi Pemberantasan Korupsi masih mencatat tingkat pengaduan yang cukup tinggi terkait dugaan korupsi di ranah pendidikan.

19 Juni 2011

Antara Soeharto vs Yudhoyono (Refleksi 13 Tahun Reformasi)


Oleh: Sabri Hamri 
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand
Padang Ekspres, 21 Mei 2011 

           
Tiga belas tahun reformasi bergulir. Pergantian tampuk kepemimpinanpun telah beralih sebanyak 4 kali. Habibie, Gus Dur, Megawati dan terakhir Yudhoyono  Namun, apakah agenda (cita-cita)  reformasi telah terwujud.

Agenda reformasi yang mencakup penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi dan pencabutan dwifungsi TNI/Polri, serta pemberian otonomi daerah seluas-luas tak berjalan dengan baik.
            Menarik ketika memperhatikan survey Indo Barometer. Ternyata mayoritas public menyatakan kondisi orde baru lebih baik ketimbang era reformasi.. Artinya, Soeharto sebagai penguasa orde baru tersebut lebih baik ketimbang Yudhoyono dan presiden era reformasi sebelumnya. Benarkah demikian atau sebaliknya.
Mungkinkah hasil tersebut rekayasa atau dipesan oleh pihak tertentu atau memang suara murni dari rakyat?. Disatu sisi, usia responden antara lain berusia 17 tahun cukup dipersoalkan. Karena bila dikurangi umur reformasi, maka saat akhir orde baru usia mereka baru berusia 3-4 tahun. Bagaimana cara mereka memberikan penilaian sedangkan mereka tidak merasakan langsung. Disisi lain, mereka juga tak lepas dari bagian sejarah. Setidak-tidaknya mereka mengetahui atau mendengar sebenarnya yang terjadi.