Oleh: Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan Dan Mantan Ketua Forum Peduli Pendidikan
Padeks, 7 Juli 2011
Empat siswi pintar dari SMAN 2 Kota Payakumbuh, SMAN 1 Harau, dan SMAN 1 Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota, terancam tidak bisa mendaftar kuliah di Universitas Andalas dan Universitas Riau, gara-gara keterbatasan ekonomi. Siapa mau peduli? (Padang Ekspres, 5 Juli 2011).
Pendidikan Indonesia kini memasuki fase baru. Suatu fase yang dinamakan komersialisasi pendidikan. Dalam tahap tersebut pendidikan menjadi komoditi mahal yang tak terjangkau. Khusunya perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Setelah 65 tahun merdeka, pendidikan tidak hanya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Melainkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi pihak-pihak tertentu melalui uang masuk kuliah.
Bila diamati uang masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta yang ada. Pada saat swasta menetapkan uang masuk kuliah yang mahal, kita masih dapat memahaminya karena swasta tidak dibantu oleh negara dalam masalah pendanaan. Namun sungguh ironis jika PTN juga menetapkan hal uang masuk yang mahal. PTN dalam menyelenggarakan pendidikan, pendanaannya di bantu oleh negara. Lalu siapakah yang dapat disalahkan?. Pihak kampus sebagai pembuat kebijakan uang masuk kuliah atau negara yang tak mampu membiayai PTN sepenuhnya?.
Diskriminasi Pendidikan
Uang masuk kuliah saat ini mencapai puluhan juta rupiah. Misalnya di Unand (tempat penulis berkuliah). Sejak tahun 2009, Unand telah menetapkan suatu kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru membayar dana pengembangan institusi (red-uang pembangunan) sebesar 1 juta hingga 22,5 juta rupiah di luar uang SPP dan lain-lain. Jika dikalkulasikan uang masuk Unand antara 5 Juta hingga 25 juta rupiah. Bahkan untuk jalur mandiri atau ekstensi mencapai 65 juta rupiah untuk fakultas kedokteran gigi. Suatu jumlah yang cukup besar. Padahal berdasarkan pengamatan penulis uang tersebut tidak jelas penggunaannya.
Realiata uang masuk kuliah Unand yang mahal menjadi sebuah bukti nyata bahwa pendidikan memang mahal dan sulit terjangkau. Setiap tahun biaya tersebut akan terus meningkat seiring kebutuhan atau peminat masyarakat terhadap pendidikan. Dalam perguruan tinggi pun berlaku hukum jual beli. Dimana semakin banyak permintaan maka semakin naik harga penawaran. Artinya, semakin banyak peminat perguruan tinggi maka semakin mahal uang masuknya. Sehingga mengakibatkan pendidikan hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang yang mapan secara ekonomi dan mampu bersaing untuk “membeli harga” pendidikan. Apakah anak petani, buruh maupun kalangan bawah lainnya dapat ikut bersaing?. Walaupun secara ilmu mereka lebih cerdas.
Ketika pendidikan hanya dapat dirasakan segelintir orang maka lahirlah yang dinamakan diskriminasi pendidikan. Diskriminasi merupakan pelanggaran HAM . Hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskirminasi adalah hak setiap warga negara. Tidak ada pembedaan antara si miskin dan si kaya. Konstitusipun telah menjaminnya dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945.
Kembali Ke Cita-Cita
Salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah cita-cita luhur yang ada di dalam pikiran founding father setelah 3,5 abad terjajah. Dimana rakyat Indonesia tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Pendidikan dianggap sebuah status sosial bagi orang-orang terpandang. Anak-anak pribumipun akhirnya mengalami pembodohan secara massal. Hanya golongan ningratlah yang bisa merasakan bangku pendidikan. Kondisi hari inipun mengembalikan kita ke masa kelam bangsa Indonesia beberapa abad yang lalu. Namun hak pendidikan kita tidak lagi di jajah oleh bangsa asing. Justru di jajah oleh penguasa di negeri sendiri. Elit pendidikan lupa bahwa akan tujuan negara tersebut akibat terbuai oleh keserakahan dan kekuasaan sesaat.
Tanpa disadari mahalnya uang masuk perguruan tinggi perlahan-lahan akan mengantarkan pendidikan Indonesia menuju jurang kehancuran. Pendidikan telah dimanfaatkan sebagai lahan basah untuk meraup kentuntungan. Cita-cita mulia pendidikan terkikis oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Pendidikan mulai beralih menjadi sebuah komoditi yang dapat diperjualbelikan. Harganya akan terus naik sesuai dengan permintaan pasar. Lambat laun kita pun akan semakin tertinggal dengan negara lainnya dalam bidang pindidikan. Bahkan negara baru merdeka sekalipun.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu kembali kecita-cita luhur bansa ini. Pengembalian cita-cita luhur adalah tugas bersama warga negara terutama pemerintah dan institusi pendidikan. Negara harus menjalankan kewajibannya untuk membiayai pendidikan. Walaupun kewajiban pemerintah hanya sampai kepada pendidikan dasar namun pemerintah memiliki kewajiban kedepan untuk membiayai seluruh jenjang pendidikan sesuai kesepakatan bersama negara-negara di dunia.
Harapan untuk Sumbar
Hampir setiap tahun terdengar bahwa lulus berprestasi harus mengubur impiannya masuk PTN karena terkendala biaya. Padahal mereka adalah yang terbaik di sekolahnya. Namun keadaan ekonomi keluarga membuatnya bersikap pasrah. Hal ini jugalah yang sering terjadi di Sumbar.
Melihat kondidi ini, PTN di Sumbar seharusnya bisa memulainya terlebih dahulu. Mengembalikkan perguruan tinggi sebagi institusi moral. Bukan sebaliknya menjadi garda terdepan dalam mengkomersialisasikan pendidikan. Dengan memanfaatkan pendidikan sebagai komoditi yang diperjualbelikan. Perlu diingat, Sumbar pernah melahirkan kaum intelektual yang berjasa bagi bangsa Indonesia seperti M. Hatta, Buya Hamka, Agus Salim, Natsir dan Syahrir. Bagaimana mungkin tokoh-tokoh tersebut bisa terlahir kembali ketika anak cerdas tetapi miskin di rampas haknya akibat dari kebijakan kampus yang menetapkan uang masuk kuliah mahal?. Apalagi di Sumbar , sebahagian besar mayarakat hanya hidup sebagai petani. Haruskah mereka menjual sawah untuk melihat anaknya menjadi sarjana?