Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) FHUA
2 tahun sudah pemerintahan SBY-Boediono atau Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) jilid II berjalan. Namun SBY-Boediono belum mampu membawa perubahan ke
arah yang lebih baik. Tingginya angka putus sekolah akibat mahalnya harga
pendidikan, bertambahnya kemiskinan dan pengganguran yang diperparah oleh
kelaparan dan penderitaan sebahagian masyarakat, tumbuh suburnya para koruptor dan
mafia hukum diiringi buruknya kinerja aparat penegak hukum merupakan sebahagian
PR yang belum terselesaikan.
Memang perlu diakui untuk merubah sebuah negara ke arah yang lebih baik
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tetapi masalah waktu tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi SBY. SBY tidak
hanya memimpin negara ini selama 2 tahun melainkan sudah 7 tahun. SBY tinggal
melanjutkan 5 tahun kepemimpinannya bersama Yusuf Kalla. Tentunya sebuah
rentang waktu yang cukup untuk membawa perubahan bagi bangsa ini. Namun
kenyataannya SBY dinilai gagal dalam menjalankan pemerintahan. Berbagai survey
memperlihatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan semakin menurun.
Kepemimpinan presiden selama ini
dinilai lamban dan ragu-ragu. Presiden lebih memilih “bermain aman” untuk
mengamankan singgasananya. Sehingga takut mengambil keputusan atau kebijakan.
Tak lepas dari ingatan ketika harga diri bangsa diinjak-injak oleh bangsa lain.
Seperti “pencurian” warisan budaya Indonesia oleh Malaysia dan kasus hukuman
pancung TKI di Arab Saudi. SBY terkesan
diam dan tidak berani berbuat. Presiden SBY berbanding terbalik dengan Presiden
Soekarno. Dimana, berani menyatakan perang kepada Malaysia demi menjaga harga
diri bangsa.
Dalam mempertahankan loyalitas kader partainya yang tersangkut masalah
hukum, presiden juga terkesan memperlambat kerja aparat penegak hukum hukum.
Kasus Djufri misalnya. Djufri yang notabene menjabat Walikota Bukittinggi,
dapat menghirup udara bebas cukup lama karena presiden tidak kunjung
mengeluarkan surat izin kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan sampai
akhirya Djufri baru dapat diperiksa setelah terpilih menjadi anggota DPR
RI.
Dalam memimpin negara, presiden
selalu “bertutur santun” di dalam pidatonya, melakukan politik pencitraan
melalui lagu-lagu yang diciptakannya dan mencurahkan isi hatinya kepada publik.
Mengibaratkan diri seperti pemimpin yang dizhalimi. Ironisnya, Boediono sebagai
wakil presiden tidak dapat berbuat banyak. Terlihat keberadaannya hanya sebagai “pelengkap” presiden.
Hormat Koalisi
Keberadaan koalisi yang di
harapkan Presiden untuk mendukung pemerintahan ternyata tak berjalan mulus.
Karena koalisi tak selalu seiya dan sekata dengan presiden. Misalnya ketika
kasus Century dan Mafia Pajak muncul ditengah masyarakat. Selain itu, keterbukaan anggota
koalisi diruang publik dan
parlemen yang berbau kritik justru memperparah keadaan. Presiden tentunya tidak menginginkan ini terjadi. Presiden
hanya ingin anggota koalisi selalu bersatu mendukung pemerintahan. Sehingga mempertahankan
koalisi merupakan harga mati bagi presiden. Meskipun pada akhirnya presiden
terbelenggu dalam menentukan keputusan dan kebijakan.
Contoh sederhana dalam reshuffle menteri, sebelumnya terdengar kabar bahwa
presiden akan mereshuffle menteri dari partai koalisi yang dinilai gagal
menjalankan kinerjanya. Namun kenyataannya hanya sebahagian menteri yang
akhirnya diganti. Bahkan tak sampai menyentuh menteri-menteri bermasalah
sehingga layak untuk diganti. Mungkin karena sang menteri memiliki kedudukan
penting di partai koalisi. Bagaimanapun keberadaan anggota koalisi sangat
penting mengingat jabatan presiden yang masih
panjang kedepan. Saat ini, dapat dikatakan sebagian kekuatan politik
presiden berada ditangan koalisi. Ditengah
banyaknya permasalahan bangsa , presiden tentu tidak dapat
berdiri sendiri tanpa adanya koalisi yang mendukung pemerintahan.
Namun kondisi ini tanpa disadari
justru berdampak buruk kepada pemerintahan sendiri. Memaksakan menteri-menteri
yang layak diganti untuk bertahan demi mempertahankan koalisi bagaikan memakan
buah simalakama. Presiden terjebak oleh kepentingan politik semata. Deal-deal
politik antara partai koalisi telah membelenggu hak prerogatif presiden.
Secara tidak langsung, jalur aman yang ditempuh presiden akan
mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Dimana kepercayaan
masyarakat akan terus menurun ketika menteri-menteri yang layak diganti masih
tetap dipertahankan. Masyarakat akan mendelegitimasi kewenagan presiden.
Menurut Adrian, masyarakat merupakan objek pertama dalam sistem politik untuk
memperoleh legitimasi. Tanpa adanya legitimasi masyarakat, pemerintah tidak
akan dapat berjalan.
3 Tahun Tersisa
Terlepas dari kegagalan SBY
sebagai presiden diiringi dengan perombakan kabinet yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat. Masyarakat pasti berharap bahwa 3 tahun yang tersisa dari
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II akan
membawa perubahan. Setidaknya para menteri dan wakil baru membawa harapan baru
untuk pemerintahan. Misalnya dibidang hukum, pergantian Menteri Hukum dan HAM
dari Patrialis Akbar kepada Amir Syamsuddin yang diperkuat hadirnya Denny
Indrayana, aktivis pemberantasan korupsi sebagai wakil menteri diharapakan
dapat merubah wajah hukum Indonesia yang sering tercoreng.
Menurunnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah harus segera dipulihkan dalam tahun ini. Pemerintah bersama menteri dan wakil menteri
barunya harus memberikan bukti konkrit kepada rakyat melalui programnya. Bukan
sekedar janji belaka. Begitu besarnya masalah bangsa ini pasti bisa diselesaikan. Jumlah anggota kabinet yang “gemuk” akan
sia-sia dan menghabiskan banyak anggaran jika kinerja pemerintah tidak juga
membawa perubahan kearah yang lebih baik. Semoga dalam 3 tahun kedepan bangsa
ini dapat kembali berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Jika hal ini
tidak dapat dilakukan, SBY sebagai presiden harus bertanggungjawab secara moral
kepada rakyat karena SBY dipilih langsung oleh rakyat. mari kita tunggu
keberhasilan SBY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar