22 Oktober 2011

Menunggu Keberhasilan SBY (Refleksi 2 Tahun Pemerintahan SBY-Boediono)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA

2 tahun sudah pemerintahan SBY-Boediono atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II berjalan. Namun SBY-Boediono belum mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Tingginya angka putus sekolah akibat mahalnya harga pendidikan, bertambahnya kemiskinan dan pengganguran yang diperparah oleh kelaparan dan penderitaan sebahagian masyarakat, tumbuh suburnya para koruptor dan mafia hukum diiringi buruknya kinerja aparat penegak hukum merupakan sebahagian PR yang belum terselesaikan.
Memang perlu diakui untuk merubah sebuah negara ke arah yang lebih baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi masalah waktu tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi SBY. SBY tidak hanya memimpin negara ini selama 2 tahun melainkan sudah 7 tahun. SBY tinggal melanjutkan 5 tahun kepemimpinannya bersama Yusuf Kalla. Tentunya sebuah rentang waktu yang cukup untuk membawa perubahan bagi bangsa ini. Namun kenyataannya SBY dinilai gagal dalam menjalankan pemerintahan. Berbagai survey memperlihatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan semakin menurun.
 Kepemimpinan presiden selama ini dinilai lamban dan ragu-ragu. Presiden lebih memilih “bermain aman” untuk mengamankan singgasananya. Sehingga takut mengambil keputusan atau kebijakan. Tak lepas dari ingatan ketika harga diri bangsa diinjak-injak oleh bangsa lain. Seperti “pencurian” warisan budaya Indonesia oleh Malaysia dan kasus hukuman pancung TKI  di Arab Saudi. SBY terkesan diam dan tidak berani berbuat. Presiden SBY berbanding terbalik dengan Presiden Soekarno. Dimana, berani menyatakan perang kepada Malaysia demi menjaga harga diri bangsa.
Dalam mempertahankan loyalitas kader partainya yang tersangkut masalah hukum, presiden juga terkesan memperlambat kerja aparat penegak hukum hukum. Kasus Djufri misalnya. Djufri yang notabene menjabat Walikota Bukittinggi, dapat menghirup udara bebas cukup lama karena presiden tidak kunjung mengeluarkan surat izin kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan sampai akhirya Djufri baru dapat diperiksa setelah terpilih menjadi anggota DPR RI.  
 Dalam memimpin negara, presiden selalu “bertutur santun” di dalam pidatonya, melakukan politik pencitraan melalui lagu-lagu yang diciptakannya dan mencurahkan isi hatinya kepada publik. Mengibaratkan diri seperti pemimpin yang dizhalimi. Ironisnya, Boediono sebagai wakil presiden tidak dapat berbuat banyak. Terlihat keberadaannya hanya  sebagai “pelengkap” presiden.
                Hormat Koalisi
                Keberadaan koalisi yang di harapkan Presiden untuk mendukung pemerintahan ternyata tak berjalan mulus. Karena koalisi tak selalu seiya dan sekata dengan presiden. Misalnya ketika kasus Century dan Mafia Pajak muncul ditengah masyarakat. Selain itu, keterbukaan anggota koalisi diruang publik dan parlemen yang berbau kritik justru memperparah keadaan. Presiden tentunya tidak menginginkan ini terjadi. Presiden hanya ingin anggota koalisi selalu bersatu mendukung pemerintahan. Sehingga mempertahankan koalisi merupakan harga mati bagi presiden. Meskipun pada akhirnya presiden terbelenggu dalam menentukan keputusan dan kebijakan.
Contoh sederhana dalam reshuffle menteri, sebelumnya terdengar kabar bahwa presiden akan mereshuffle menteri dari partai koalisi yang dinilai gagal menjalankan kinerjanya. Namun kenyataannya hanya sebahagian menteri yang akhirnya diganti. Bahkan tak sampai menyentuh menteri-menteri bermasalah sehingga layak untuk diganti. Mungkin karena sang menteri memiliki kedudukan penting di partai koalisi. Bagaimanapun keberadaan anggota koalisi sangat penting mengingat jabatan presiden yang masih panjang kedepan. Saat ini, dapat dikatakan sebagian kekuatan politik presiden berada ditangan koalisi. Ditengah banyaknya permasalahan bangsa , presiden tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya koalisi yang mendukung pemerintahan.
                Namun kondisi ini tanpa disadari justru berdampak buruk kepada pemerintahan sendiri. Memaksakan menteri-menteri yang layak diganti untuk bertahan demi mempertahankan koalisi bagaikan memakan buah simalakama. Presiden terjebak oleh kepentingan politik semata. Deal-deal politik antara partai koalisi telah membelenggu hak prerogatif presiden.
Secara tidak langsung, jalur aman yang ditempuh presiden akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Dimana kepercayaan masyarakat akan terus menurun ketika menteri-menteri yang layak diganti masih tetap dipertahankan. Masyarakat akan mendelegitimasi kewenagan presiden. Menurut Adrian, masyarakat merupakan objek pertama dalam sistem politik untuk memperoleh legitimasi. Tanpa adanya legitimasi masyarakat, pemerintah tidak akan dapat berjalan.
                3 Tahun Tersisa
                Terlepas dari kegagalan SBY sebagai presiden diiringi dengan perombakan kabinet yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Masyarakat pasti berharap bahwa 3 tahun yang tersisa dari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II  akan membawa perubahan. Setidaknya para menteri dan wakil baru membawa harapan baru untuk pemerintahan. Misalnya dibidang hukum, pergantian Menteri Hukum dan HAM dari Patrialis Akbar kepada Amir Syamsuddin yang diperkuat hadirnya Denny Indrayana, aktivis pemberantasan korupsi sebagai wakil menteri diharapakan dapat merubah wajah hukum Indonesia yang sering tercoreng.
                Menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus segera dipulihkan dalam tahun ini.  Pemerintah bersama menteri dan wakil menteri barunya harus memberikan bukti konkrit kepada rakyat melalui programnya. Bukan sekedar janji belaka. Begitu besarnya masalah bangsa ini  pasti bisa diselesaikan.  Jumlah anggota kabinet yang “gemuk” akan sia-sia dan menghabiskan banyak anggaran jika kinerja pemerintah tidak juga membawa perubahan kearah yang lebih baik. Semoga dalam 3 tahun kedepan bangsa ini dapat kembali berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Jika hal ini tidak dapat dilakukan, SBY sebagai presiden harus bertanggungjawab secara moral kepada rakyat karena SBY dipilih langsung oleh rakyat. mari kita tunggu keberhasilan SBY.   
                 

               

Tidak ada komentar: