21 Februari 2012

Drop Out, Salah(kah) Unand


Oleh: Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan

Menarik ketika membaca dua tulisan yang dimuat oleh harian ini. Pertama, tulisan yang berjudul “ Unand Terapkan Sistem Sapu Bersih” oleh Depitriadi, Opini 8/2/2012 dan kedua tulisan yang berjudul Eksekusi DO-Rektor Unand” oleh Nanda Oetama, Teras Utama s16/2/2012. Tulisan yang emberikan tanda tanya besar mengenai persoalan DO di Universitas Andalas. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi?. Apakah DO sebuah keputusan yang tepat atau sebaliknya?   
Dalam tulisannya Depitriadi memberikan penilaian DO merupakan kelemahan sisi birokrat kampus,  dampak negatif sistem pendidikan berbasis teknologi (ICT), dan indikasi faktor pencitraan untuk menjadi world class university. Depitriadi berkesimpulan bahwa tindakan penjatuhan sanksi kepada ratusan mahasiswa dinilai memang di luar kewajaran.
Sedangkan Nanda Oetama mengkaji lebih dalam peraturan yang ada. Menurut Nanda Oetama, penjatuhan DO merupakan kebijakan  rektor dalam menegakkan aturan. Pada sisi lain, kita berteriak bahwa negara ini adalah negara hukum di mana setiap warga negara harus taat hukum. Dari optik yuridis, jika rektor tidak melakukan eksekusi, rektor tidak benar karena tidak mengikuti amanat undang-undang.
Lalu siapa yang salah dan siapa pula yang benar ?. Unand, Mahasiswa atau murni kegagalan dari sistem pendidikan di Indonesia. Karena akhir-akhir ini makna luhur dari pendidikan terabaikan. Pendidikan disulap dari institusi moral menjadi ladang bisnis menggiurkan. Komersialisasi dan privatisasi pendidikan, cara baru mengeruk keuntungan.
            World Class University
            Setiap perguruan tinggi memang dituntut untuk mecetak mahasiswa berkualitas. Dengan nilai IPK selalu menjadi tolak ukur bagi perguruan tinggi untuk mengukur kualitas mahasiswa. Sehingga mahasiswa yang “tidak mampu” mencapai nilai dan SKS  yang ditetapkan harus di DO demi mempertahankan kualitas perguruan tinggi. Mungkin hal ini pula yang sedang terjadi di Unand.
Namun sungguh tidak adil jika meletakkan kesalahan kepada mahasiswa.  Jika mau jujur kegagalan mahasiswa memenuhi target merupakan kegagalan kampus dalam menerapkan sistem pendidikan yang baik. Kampus terlalu berambisi mengejar target sebagai world classs university. Berlomba-lomba membangun kampus yang megah tetapi melupakan mutu pendidikan didalam yang sangat buruk.Dalam bahasa Minang: Elok dilua, buruak didalam.  
Pernahkah kampus mengevaluasi kinerja dosen dan pegawai?. Dosen yang sering malas mengajar. Menentukan jadwal kuliah pengganti sesuka hati dosen atau pratikum di dalam jadwal kuliah. Cara mengajar yang membosankan karena masih menerapkan sistem catat buku sampai habis (CSBH).  Tak lebih dari isi buku yang ditransfer kepada mahasiswa. Sehingga mahasiswa jarang mendapatkan gagasan atau ilmu baru dari sang dosen. Jarang masuk kuliah. Tetapi ketika masuk mengambil absen lebih dari satu. Padahal kehadiran minimal 75% mahasiswa menenentukan dalam mengikuti ujian semester. Sedangkan ujian semester salah satu syarat memperoleh nilai.
Birokrasipun demikian. Selalu rumit dan bertele-tele. Opor sana dan opor sini. Pelayanan hampir buruk disana sini. Menerapkan sistem informasi akademik online namun sulit diakses. Pegawai biro atau bagian ibarat raja kecil yang berkuasa. Memperlakukan mahasiswa sekehendak hati bukan melayani mahasiswa setulus hati. Kadang-kadang datang lambat dan pulang cepat. Jika jam istirahat mahasiswa harus menunggu lama. Inikah calon world class university?
Menurut Webometrics pada Januari 2012, Universitas Andalas berada di peringkat 2748 universitas di dunia dan peringkat 38 universitas di Indonesia. Peringkat Unand masih dibawah Universitas Sriwijaya, Universitas Sumatera Utara dan Universitas Lampung. Bahkan Universitas Sriwijaya mampu menembus peringkat 1323 universitas di dunia dan peringkat 10  universitas di Indonesia. Padahal dulu Unand peringkat kedua dibawah USU untuk Pulau Sumatera.
            Hakikat Nilai
            Pemberlakuan DO kepada mahasiswa secara tidak langsung Unand telah menanmbah angka putus sekolah. Proses pindah yang ditawarkan Unand belumlah tentu dapat diterima oleh setiap mahasiswa. Dengan pelbagai alasan, proses pindah perguruan tinggi bukan proses yang mudah. Tahun ajaran berada di semester genap dan biaya besar harus dikeluarkan.
 Jika mahasiswa DO berasal dari kalangan tidak mampu tentu sebuah pilihan berat. Putus kuliah adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Bisa saja selama ini mahasiswa bersangkutan harus membagi waktu untuk kuliah dan pekerjaan demi membiayai kuliah sehingga tidak maksimal dalam memperoleh nilai. Akhirnya cita- cita untuk meraih gelar sarjana harus kandas ditengah jalan. Inikah keadilan pendidikan bagi orang miskin?.
Mengapa nilai IPK selalu menjadi tolak ukur. Pendidikan bukan hanya proses meraih IPK tertinggi melainkan proses memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan membentuk karakter seorang manusia agar berguna bagi bangsa dan negara. Nilai IPK hanya sebahagian kecil dari nilai yang sebenarnya yaitu nilai kemanusian yang harus ditanamkan dalam dunia pendidikan. Nilai yang tak bisa dikalkulasikan dengan angka-angka. Agar kelak mahasiswa peduli dengan kehidupan sekitarnya. Bukan menjadi apatis dan hedonisme.
Pada hakikatnya tidak ada seorang pun terlahir dengan bodoh. Begitupun mahasiswa Unand. Toh, calon mahasiswa DO yang diterima dikampus telah menyisihkan ribuan pesaing lain. Secara logika mereka memiliki kemampuan diatas rata-rata. Namun, mengapa mereka bisa gagal ditengah jalan?. Karena Unand belum mampu menerapkan sistem pendidikan yang baik.
Jika satu orang mahasiwa gagal dan di DO, maka itu adalah kebodohan masiswa tersebut, tetapi jika ratusan mahasiswa di DO, maka itu adalah kegagalan Unand. Jangan penegakkan aturan dijadikan alasan untuk menutupi sebuah kegagalan. Semoga kedepan Unand mampu mengevaluasi diri dan mampu menjadi lebih baik demi kejayaan bangsa.

Tidak ada komentar: