17 Desember 2011

Korupsi dan (Pembela) Koruptor (Refleksi Hari Anti Korupsi)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA

Saat era reformasi bergulir, ada  enam tuntutan  yang harus dikerjakan. Tuntutan untuk  mengembalikan  Indonesia kepada jalur yang “benar”. Setelah terkekang sekian lama dalam kurungan rezim orde baru. Salah satu tunutan reformasi tersebut yakni pemberantasan korupsi. Bahkan sampai hari ini tuntutan itu masih terus bergulir.
 Walaupun segala upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi termasuk mendirikan Komisi Pemberntasan Korupsi sebagai “kekecewaan” terhadap peran lembaga kepolisian dan kejaksaan. Namun upaya-upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil memuaskan. Korupsi tetap tumbuh subur di negeri ini.
Meskipun sudah banyak pelaku korupsi (koruptor) yang dihukum tetapi tidak memberi efek jera. Hampir setiap saat kasus korupsi terungkap. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah untuk didengar. Mulai dari Anggota Dewan, Menteri, Kepala Daearah, Hakim, Jaksa, Pengacara tak luput dari hukuman.  Benarkah korupsi sudah “membudaya”?.
Besar atau kecil uang negara yang dirampok oleh koruptor tetap tidak dapat dimaafkan. Korupsi telah memumupuskan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat. Korupsi salah satu penyebab negara ini masih terbelenggu oleh kemiskinan. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat hilang dirampok begitu saja oleh para koruptor. Sehingga sungguh ironis ketika para koruptor dibiarkan lolos atau bebas begitu saja dari jeratan hukum.

Peran Pembela Koruptor
 Korupsi yang tumbuh sumbur tak terlepas dari peran pembela koruptor. Semakain banyaknya  pembela koruptor di dalam institusi peradilan memperberat langkah untuk memberantas korupsi di negeri ini. Mulai dari hakim, jaksa, pengacara hingga saksi/ahli. Uang memang selalu berbicara. Suap menyuap atau jual beli pasal menjadi seseuatu yang wajar. Wajar pula jika kemudian hakim diplesetkan menjadi “Hubungi Aku Kalau Ingin Menang”.
Jika dicermati lebih jauh, pelaku pembela korupsi ini bukan saja membebaskan para koruptor dari jeratan hukum melainkan menghambat semangat pemberantasan korupsi. Bukan tanpa alasan, lembaga peradilan merupaka satu-satunya institusi yang berwenang mengadili para koruptor. Jika lembaga peradilan tidak dapat dipercaya, lalu siapa yang akan menghukum para koruptor?. Apakah kita harus menunggu hukum alam berlaku?.
 Putusan hakim sangat menentukan seorang terdakwa korupsi bersalah atau tidak bersalah. Perlu dingat, hakim hanyalah manusia biasa yang juga tak luput dari kesalahan. Begitupun jaksa dan pengacara. Dalam proses hukum yang berjalan, suap menyuap atau jual beli pasal acapkali menjadi transaksi yang dilegalkan. Asalkan ada uang semua dapat diatur. Putusan bebas atau ringan bisa dijamin. Semakin banyak yang diputus bebas semakin banyak pula orang yang tidak takut untuk melakukan korupsi. Toh, akhirnya bisa diputus bebas.
Khusus saksi ahli korupsi yang berasal akademisi sungguh sangat disayangkan, keterangannya tentu akan mencoreng wajah pendidikan sebagai institusi moral. Kampus yang mengajarkan nilai-nilai untuk menegakkan hukum dan keadilan justru mempertontokan dosennya merampas keadilan masyarakat dengan menjadi saksi ahli bagi para koruptor. Wajar jika kemudian sebahagian lulusan Fakultas Hukum justru melakukan hal yang sama ketika berkerja di dalam sistem peradilan. Karena mereka pernah dididik oleh dosen “pembela koruptor”.
Pengaturan mengenai keterangan ahli didalam KUHAP bukan alasan yang tepat bagi seorang akademisi untuk berlindung dalam memenangkan para koruptor. Jika memang Pasal 1 Butir 28 yang menyebutkan bahwa: “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidanan guna kepentingan pemeriksaaan” mengapa tidak dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk dimohonkan agar akademisi tidak termasuk kategori ahli dalam tindak pidana korupsi.
 Perubahan Sistem
Sistem yang tidak baik di Indonesia merupakan faktor utama dari tumbuh suburnya korupsi di negeri ini. Contoh sederhana, ketika melamar pekerjaan hampir selalu diperlukan uang untuk menyisihkan para pesaing lainnya. Sedangkan ijazah atau tes kemampuan hanya dijadikan formalitas belaka.
Jika ada uang, jalan untuk mendapatkan pekerjaan akan berjalan mulus. Praktek seperti inilah yang juga terjadi di dalam lembaga pemerintahan dan sistem peradilan baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Begitupun ketika calon kepala daerah atau anggota dewan “menghambur-hamburkan” uang untuk meraih tampuk kekuasaan. Akhirnya, korupsi menjadi jalan satu-satunya untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan.
Kadangkala ketika seseorang mempertahankan idealisme di dalam pekerjaan untuk selalu berada dijalan yang benar dia harus berhadapan dengan atasan. Tak heran jika kemudian idealisme tersebut akan luntur secara perlahan-lahan. Jika tetap dipertahankan, dia akan disisihkan dari pekerjaan dan siap-siap untuk dimutasi ke daerah terpencil.
  Hari anti korupsi yang diperingati tanggal 9 Desember kembali menjadi momentum untuk memutus rantai korupsi dinegeri ini. Reformasi birokrasi di tubuh lembaga pemerintahan, lembaga penegak hukum dan lembaga lainnya harus menjadi agenda utama dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, pendidikan anti korupsi perlu ditanamkan sejak usia dini. Dalam kondisi saat ini, penanaman nilai-nilai moral dirasakan sangat penting. Kita juga berdoa dengan terpilihnya pimpinan KPK baru dapat membawa semangat baru dalam pemberantasan korupsi. Sehingga tidak ada lagi korupsi dan (pembela) koruptor. Semoga.

Tidak ada komentar: