Pemerhati Hukum
Rasa keadilan masyarakat kembali terusik. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda 150 juta rupiah di nilai terlalu meringankan bagi hakim Syarifuddin yang menciderai institusi penegak keadilan . Bahkan vonis hakim jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 20 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah. Putusan ini melengkapi keraguan putusan-putusan pengadilan tipikor terdahulu. Mungkinkah karena terdakwa seorang hakim sehingga vonis yang diberikan terlalu ringan?
Selama
ini pengadilan tipikor selalu diragukan dalam meberikan putusan. Selain putusan
bebas di berbagai daerah. Kadangkala ketimpangan tuntutan dan vonis antara perkara
kecil dengan perkara besar sangat jelas. Jika korupsi dibawah 100 juta di hukum
2 tahun penjara atau lebih sedangkan korupsi diatas 100 juta hanya di hukum
kurang dari 2 tahun penjara. Begitupun
dengan jabatan terdakwa. Kadangkala mempengaruhi putusan hakim. Mengapa
demikian? . Padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Jika
memang hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya dan siapapun harus dihukum
jika berbuat salah. Termasuk menghukum Nenek Minah, Prita dan AAL. Mengapa
selama ini putusan terhadap terdakwa korupsi dirasakan jauh dari keadilan. Mungkihkah ada suap dalam putusan yang
didahului dengan kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?
Hakim,
Wakil Tuhan
Semua pasti tahu bahwa hakim adalah
wakil Tuhan di dunia. Palu hakim memutuskan seseorang bersalah atau tidak
bersalah di dunia. Putusan hakim harus berlandaskan “Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan hakim dapat mengalahkan puluhan bahkan
ratusan juta suara rakyat meskipun suara rakyat adalah suara Tuhan.
Bahkan untuk menjaga independensi,
ruangan hakim di seluruh pengadilan berada dilantai 2 dan terpisah dari ruang
lainnya. Hal ini dimaksudkan agar hakim tidak dapat ditemui oleh pihak
berpekara sebelum atau diluar persidangan. Hakim merupakan profesi kesepian. Harus
jauh dari kepentingan dan bebas dari intervensi.
Sebagai wakil Tuhan, hakim dianggap tau
hukum. Hakim tidak boleh menolak perkara karena pengadilan merupakan benteng
terakhir masyarakat dalam memperoleh keadilan. Jika kemudian hakim memutus
perkara jauh dari rasa keadilan masyarakat, kemana masyarakat harus mencari
keadilan
Mencari
Pengganti Bismar
Jika
kepolisian pernah memiliki Hoegeng yang dikenal sebagai Polisi bersih dan Anti
Korupsi dan kejaksaaan pernah memiliki Baharudin Lopa sebagai Jaksa penegak
hukum tanpa pandang bulu. Begitu pun pengadilan pernah memiliki Bismar Siregar
sebagai hakim berhati nurani.
Semasa
menjadi hakim, Bismar Siregar lebih mengedepankan hati nurani dalam memutus
perkara. Dia yakin bahwa hakim itu wakil Tuhan di Bumi. Dia tak terpasung oleh
undang-undang walaipin putusannya
selalu dianggap kontroversial.
Ketika
menjadi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dia pernah membebaskan seorang
anak yang menjadi terdakwa kasus pemerkosaan . Bukan sang anak yang salah tapi
bioskop yang membiarkan sang anak menonton film dewasa. Sebaliknya, ketika menjadi hakim Pengadilan
Tinggi Sumatera Utara dia menaikkan hukuman 10 kali lipat bagi pengedar narkoba
yang dianggap merusak moral bangsa.
Bismar Siregar kini sudah pensiun. Masih adakah
pengganti?. Pasti ada. Terlepas dari kebenarannya yang masih diragukan saat ini, pada tahun 2011 di Kab Prambulih Lampung, seorang hakim
bernama Marzuki, sambil meminta maaf, memvonis seorang nenek yang mencuri
singkong dengan hukuman denda 1 juta rupiah dengan catatan jika sang nenek
tidak mampu membayar maka diganti dengan pidana penjara 2,5 tahun penjara.
Tetapi
kemudian hakim Marzuki mengeluarkan uang 1 juta rupiah dari dompet untuk
membayar denda tersebut dan menghukum seluruh pengunjung sidang untuk membayar
50 ribu rupiah karena membiarkan seorang warga negara mati kelaparan dan
terpaksa mencuri.
Di
satu sisi hakim Marzuki menegakkan undang-undang. Namun di sisi lain dia
menghukum dirinya sendiri dan seluruh pengunjung sidang karena membiarkan
seorang warna negara kelaparan dan terpaksa mencuri.
Ratusan
juta rakyat Indonesia pasti sangat merindukan sosok Bismar maupun Marzuki.
Merindukan hakim berhati nurani. Selain itu, rakyat juga merindukan peradilan bersih di negeri ini. Peradilan yang
bersih dari suap karena jual beli perkara. Putusan yang memenuhi rasa keadilan
masyarakat.
Peralihan Ketua MA dari Harifim Tumpa kepada
Hatta Ali diharapkan mampu mereformasi lembaga peradilan. Menindak hakim-hakim
nakal merupakan jalan yang harus ditempuh untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat kepada pengadilan sebagai tempat para pencari keadilan mencari
keadilan.
Kemudian
ketua MA harus memperbaiki proses requitment hakim. Jangan sampai melegalkan
suap dalam memilih calon hakim. Hakim adalah pekerjaan luar biasa dan hanya
dilakukan oleh orang-orang luar biasa pula. Bukan orang-orang biasa yang hanya
punya modal uang untuk menjadi hakim.
Sekali lagi, Hakim sebagai wakil Tuhan.
Jika
kedepan pengadilan masih tidak mampu untuk memberikan keadilan. Hakim selalu lupa sebagai wakil Tuhan di dunia.
Jangan salahkan jika masyarakat main hakim sendiri. Seperti kasus pembacokan
terhadap jaksa non aktif sistoyo, tersangka kasus suap sebagai kekecewaan
kepada aparat penegak hukum dan ketidakpercayaan kepada lembaga pengadilan yang
mengadili perkara Jaksa Sistoyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar