Oleh : Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan dan Mantan Ketua Forum Peduli Pendidikan
Haluan, 29 Juni 2011
Tragedi Tegal cukup menggegerkan kita semua. Sikap jujur yang ditunjukkan wali murid untuk membuka aib dunia pendidikan justru berbuah pahit. Widodo yang melaporkan kecurangan ujian nasional yang terjadi di sekolah anaknya SDN II Gadel Surabaya, lantaran sang anak dipaksa oleh guru untuk menyebarkan contekkan dalam ujian nasional harus pasrah di usir dari rumahnya oleh wali murid lain dan warga sekitar. Padahal dia dan anaknya hanya menjadi korban dari sebuah sistem dalam menetukan kelulusan sekolah.
Wali murid lain boleh saja marah karena nasib anaknya terkatung-katung oleh kejadian tersebut. Tetapi dapatkah dibenarkan tindakan mereka mengusir wali murid dan anak jujur yang membuka aib di institusi pendidikan. Aib yang seharusnya tidak terjadi. Bayangkan saja jika nilai kejujuran harus dibayar mahal dalam dunia pendidikan. Satu-satunya intitusi yang diharapkan mampu menghasilkan generasi penerus bangsa ditengah krisis kepemimpinan. Ketika institusi pendidikan menghalalkan kecurangan dan tidak berbuat jujur maka bangsa ini tidak akan pernah dipimpin oleh orang-orang yang jujur.
Terkait dengan permasalahn inin, menurut Syafi’ Ma’aif (Mantan Ketua PP Muhammadiyah) bangsa ini sakit sehingga kejujuran anak Sekolah Dasar Negeri diberangus secara sengaja justru oleh pendidik dan warga sekelilingnya. Dan bangsa yang sakit itu timbal balik dengan pemimpin yang sakit semuanya. Bangsa yang sakit dan pemimpin yang sakit seperti ayam dan telur. ( Media Indonesia, 14 Juni 2011)
Ironis memang jika sejak dini nilai kejujuran telah terkikis. Apalagi sejak sekolah dasar seperti yang terjadi di Tegal. Bahkan lebih ironis lagi ketika gurulah yang mengajarkannya. Bukankah sebaliknya guru sebagai tenaga pendidik yang mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai kejujuran tersebut .
Salah Siapa
Tragedi Tegal tak dapat dipisahkan dari ujian nasional. Ujian yang menentukan kelulusan sekolah harus dijalani secara maksimal. Perubahan standarisasi yang terjadi dari tahun ketahun menambah beban tersendiri bagi guru dan sekolah untuk mencapai target kelululusan. Belum lagi ditambah tuntuntan dari kepala dinas untuk dapat meraih hasil yang terbaik di daerah masing-masing.
Rasa takut dan cemas tidak lulus dan ingin menjadi yang terbaik selalu ada dalam bayangan guru maupun sekolah. Karena kegagalan dalam ujian nasional juga merupakan kegagalan guru atau sekolah dalam mendidik siswanya. Hal inilah akhirnya membuat guru menjadi khilaf, membiarkan bahkan menganjurkan siswa untuk mencotek pada ujian nasional. Hal yang pernah penulis rasakan saat mengikuti ujian nasional dulu ketika SMP maupun SMA.
Terungkapnya tragedi Tegal tentunya membuka mata kita semua bahwa institusi pendidikan masih jauh dari yang diharapkan. Bisa saja tragedi tegal hanya bagian kecil dari bobroknya dunia pendidikan. Mungkin masih banyak kebobrok-bobrokan lain yang terjadi. Seperti kecurangan dalam penerimaan siswa baru.
Pemerintah harus bertanggungjawab atas Tragedi Tegal. Karena ujian nasional merupakan kebijakan dari pemerintah. Walaupun ujian nasional masih menimbulkan banyak polemik dan kecurangan, pemerintah tetap memaksakan diri untuk mengadakannya. Setiap tahun ujian nasionalpun selalu mengalami perubahan sistem dalam penentuan standarisasi kelulusan akibat sistem sebelumnya dianggap gagal. Akhirnya siswa dan guru seperti kelinci percobaan setiap tahunnya untuk memperoleh sistem terbaik. Hal inilah yang kemudian yang menambah beban bagi siswa dan guru.
Sungguh sangat memilukan ketika ujian nasional yang seharusnya sebagai evaluasi pendidikan di indonesia dicokoli oleh “budaya tidak jujur”. Tidakah cukup negara ini dipenuhi oleh rasa ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Dimana si miskin masih tidak mampu mengeyam bangku pendidikan karena kesulitan biaya. Dengan adanya ketidakkjujuran dan ketidakadilan tersebut dunia pendidikanpun semakin nyata menuju tepi jurang kehancuran.
Degrasi Kejujuran
`Tragedi tegal menggambarkan kepada kita semua bahwa kejujuran sulit dicari di negeri ini. Karena di instituisi pendidikan (red- sekolah dasar) telah lahir ketidakjujuran. Kejujuran dewasa ini ibarat emas yang mahal harganya. Semboyan sekolah yang termasuk kedalamnnya kejujuran sudah mulai terkikis oleh sebuah sistem. Keinginan menjadi yang terbaik dan mendapat nilai tinggi telah menggeroti pola pikir dan perilaku penerus bangsa ini.
Penulis ingin menekankan, guru dan murid hanyalah korban dari sebuah kegagalan pemerintah dalam memperbaiki dunia pendidikan. Pemerintah hanya mampu menetapkan sebuah sistem yang harus dijalani. Tanpa memikirkan manfaat dari sistem tersebut. Ujian nasionlpun merupakan sebuah sitem atau kebijakan pemerintah yang gagal. Ketika sekolah gagal, pemerintah hanya bisa menyalahkan tanpa bisa memperbaikinya. Akhirnya, lahirlah ketidakjujuran tersebut dalam usia dini. Jika usia dini sudah tidak jujur, apalagi ketika beranjak dewasa dan mulai menjadi pemimpin di negeri ini.
Degrasi kejujuran harus disikapi secara bersama. Nilai-nilai kejujuran harus kembali ditanamkan sejak usia dini dari bangku sekolah. Agar kedepan bangsa ini dapar melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Jika memang ujian nasional hanya melahirkan ketidakjujuran, lebih baik ditiadakan daripada akan merugikan semua pihak termasuk bangsa dan negara.
Tragedi Tegal harus menjadi pelajaran berharga buat kita. Jangan sampai hal ini terulang kembali. Jika kita benar-benar peduli dengan nasib dunia pendidikan dan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar