Pemerhati Pendidikan dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi
FHUA
Haluan, 18 September 2011
Perguruan Tinggi kini dihadapkan pada suatu persoalan dalam menjalankan
peranan sebagai penghasil kaum intelektual muda. Institusi pendidikan tertinggi
ini harus terus bersaing ditengah
percaturan dunia jika tak ingin ditinggalkan mahasiswa. Apalagi universitas
diluar negeri semakin diminati oleh anak bangsa sendiri. Belum lagi ditambah
beasiswa menggiurkan dari berbagai pihak untuk biaya kuliah di luar negeri.
Ironisnya, beasiswa tersebut justru berasal dari pemerintah seperti Kementerian
Pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahpun lebih bangga terhadap
kualitas perguruan tinggi di negera orang lain. Atau pesimis terhadap kualitas
perguruan tinggi di negeri sendiri.
Tak dapat dipungkiri pula sebahagian besar orangtua pasti bangga dapat
melihat anaknya yang memiliki prestasi akademik menamatkan kuliah di universitas terkemuka di
dunia dibandingkan di Indonesia. Sehingga melihat anaknya kuliah keluar negeri
baik melalui beasiswa maupun dengan biaya sendiri bagi yang kaya menjadi
cita-cita utama. Namun hal inilah yang menyebabkan universitas di Indonesia
semakin juah tertinggal. Buktinya, sampai
saat ini, tak satupun universitas di Indonesia mampu menembus peringkat 100
universitas top dunia walaupun telah berdiri puluhan tahun. Padahal negara
kecil seperti Singapura telah menempatkan satu universitas terbaiknya di urutan
keempat puluh. Tetapi bukan semakin termotivasi, perguruan tinggi di Indonesia
justru “bangga” melihat ketertinggal tersebut.
Menuju Universitas
Bagi penulis slogan “Menuju World Class University” hanyalah mimpi di
siang bolong bagi sebahagian besar universitas di Indonesia atau hanya mencoba
menghibur diri. Lihatlah, perbaikan mutu pendidikan masih sering terabaikan. Dimana
perguruan tinggi lebih sibuk memperbaiki tampilan luar (red- bangunan)
dibandingkan tampilan dalam (red- mutu pendidikan). Jika dibandingkan, biaya
pengeluaran untuk membangun gedung lebih besar daripada pengeluaran untuk
menunjang kegiatan belajar-mengajar seperti buku di perpustakaan. Jangankan
untuk menjadi universitas kelas dunia, untuk menjadi sebuah universitas sesungguhnya
masih belum mampu. Bahkan “jauh api dari panggang”. Mengapa demikian?
Padahal uang pembangunan selalu dipungut terhadap mahasiswa baru untuk
membangun universitas lebih baik. Tak
jarang anak bangsa ini terampas haknya karena tak mampu membayarnya. Masih
segar dalam ingatan kita tentang dana sumbangan pengembangan institusi di Unand
atau di UNP dari tahun ketahun yang menimbulkan polemik. Ketika ditanya kepada
mahasiswa, banyak yang tidak merasakan manfaatnya. Khusus di Unand, dana tersebut selalu tanpa transparansi
kepada mahasiswa. Entah kemana dana tersebut digunakan. Sehingga timbul
pertanyaan, mungkinkah dikorupsi?.
Memang cita-cita luhur pendidikan bangsa ini telah tergerus oleh
keserakahan segelintir orang terhadap dunia pendidikan. Perguruan tinggi
berubah menjadi lahan subur mencari uang. Marwah pendidikan terjual dalam
praktek jual beli pendidikan dalam penerimaan mahasiswa baru. Perguruan tinggi disulap
menjadi pasar yang terus menerus mencari pembeli (red- mahasiswa). Sehingga satu
kios pasar (red-kelas) menjadi sesak tanpa
memberi rasa nyaman. Dosen sebagai pelayan pendidikan pun menanggung dampak
lelah melayani banyaknya pembeli. Sehingga kurang maksimal dalam memberikan
pelayanan pendidikan. Mahasiswa pun menjadi korban. Harapan mendapatkan
kepuasan ilmu menjadi sirna. Lalu inikah yang dinamakan universitas?.
Perbaikan Mutu
Perbaikan mutu pendidikan perguruan tinggi harus menjadi fokus utama.
Perlu perbaikan di setiap lini mulai dari dosen, metode perkuliahan dan jumlah
siswa di dalam suatu kelas sampai kepada fasilitas belajar mengajar.
Menghidupkan diskusi ilmiah dikampus dan memberikan akses kepada mahasiswa
untuk berperan aktif dalam kegiatan kampus yang berbau ilmiah seperti
penelitian atau pengabdian kepada masyarakat perlu di galakkan. Tetapi bukan
hanya sekedar Kuliah Kerja Nyata atau Praktek Kerja Lapangan. Masalah perbaikan
gedung kuliah sehingga terkesan mewah adalah prioritas terakhir. Ibarat sebuah
buku, tampilan luar yang bagus tak ada artinya jika isi dari buku tersebut tak
ada bagusnya. Begitupun sebuah universitas.
Pernahkah pihak universitas tahu banyak dosen yang tak pandai mengajar.
Sekedar memindahkan isi buku kedalam catatan mahasiswa tanpa memberikan ilmu
yang dimiliki sang dosen. Lalu menjadikan universitas seperti negeri dongeng tanpa
ada diskusi didalamnya. Mahasiswa hanya menjadi pendengar yang baik hingga
akhir perkuliahan tanpa ada pertanyaan. Lalu dengan bangga sang dosen yakin
telah melaksanakan tugasnya walaupun nol ilmu yang didapatkan mahasiswa. Ironisnya, mahasiswa hanya diam mengikuti cara
mengajar sang dosen. Kemudian merasa puas tanpa pernah protes asalkan
mendapatkan nilai tinngi.
Pernakah pihak universitas
merasakan tidak efektifnya suasana belajar dengan jumlah mahasiswa yang terlalu
ramai dan sesak didalam kelas. Sehingga memecah kosentrasi belajar. Atau
pernakah pihak universitas menyadari bahwa buku-buku di perpustakaan telah
usang di makan waktu dan tidak pernah ditambah sedangkan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Sehingga kebutuhan akan literatur-literatur baru sangat diperlukan.
Pihak universitas hanya tau memiliki banyak mahasiswa sehingga merasa telah berhasil.
Sebelum bermimpi menjadi world class university, seyogyanya perguruan
tinggi harus terlebih dahulu menjadi universitas sesungguhnya. Bukan sekedar
pasar yang ramai pembeli. Keberhasilan
universitas bukan dinilai dari melahirkan banyak sarjana tetapi seberapa banya
sarjana berkualitas yang dilahirkan. Universitas terbaik tidak pernah dinilai
dari kemewahan sebuah gedung perkuliahan atau areal kampus tetapi dinilai dari
kualiatas ilmu didalamnya yang bermanfaat. Jika telah dapat menjadi universitas
sesungguhnya silahkan bermimpi menjadi World Class University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar