20 September 2011

Menuju (World Class) University

Oleh : Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Haluan, 18 September 2011

Perguruan Tinggi kini dihadapkan pada suatu persoalan dalam menjalankan peranan sebagai penghasil kaum intelektual muda. Institusi pendidikan tertinggi ini harus  terus bersaing ditengah percaturan dunia jika tak ingin ditinggalkan mahasiswa. Apalagi universitas diluar negeri semakin diminati oleh anak bangsa sendiri. Belum lagi ditambah beasiswa menggiurkan dari berbagai pihak untuk biaya kuliah di luar negeri. Ironisnya, beasiswa tersebut justru berasal dari pemerintah seperti Kementerian Pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahpun lebih bangga terhadap kualitas perguruan tinggi di negera orang lain. Atau pesimis terhadap kualitas perguruan tinggi di negeri sendiri.
Tak dapat dipungkiri pula sebahagian besar orangtua pasti bangga dapat melihat anaknya yang memiliki prestasi akademik  menamatkan kuliah di universitas terkemuka di dunia dibandingkan di Indonesia. Sehingga melihat anaknya kuliah keluar negeri baik melalui beasiswa maupun dengan biaya sendiri bagi yang kaya menjadi cita-cita utama. Namun hal inilah yang menyebabkan universitas di Indonesia semakin juah tertinggal.  Buktinya, sampai saat ini, tak satupun universitas di Indonesia mampu menembus peringkat 100 universitas top dunia walaupun telah berdiri puluhan tahun. Padahal negara kecil seperti Singapura telah menempatkan satu universitas terbaiknya di urutan keempat puluh. Tetapi bukan semakin termotivasi, perguruan tinggi di Indonesia justru “bangga” melihat ketertinggal tersebut.

Menuju Universitas
Bagi penulis slogan “Menuju World Class University” hanyalah mimpi di siang bolong bagi sebahagian besar universitas di Indonesia atau hanya mencoba menghibur diri. Lihatlah, perbaikan mutu pendidikan masih sering terabaikan. Dimana perguruan tinggi lebih sibuk memperbaiki tampilan luar (red- bangunan) dibandingkan tampilan dalam (red- mutu pendidikan). Jika dibandingkan, biaya pengeluaran untuk membangun gedung lebih besar daripada pengeluaran untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar seperti buku di perpustakaan. Jangankan untuk menjadi universitas kelas dunia, untuk menjadi sebuah universitas sesungguhnya masih belum mampu. Bahkan “jauh api dari panggang”. Mengapa demikian?
Padahal uang pembangunan selalu dipungut terhadap mahasiswa baru untuk membangun universitas lebih baik.  Tak jarang anak bangsa ini terampas haknya karena tak mampu membayarnya. Masih segar dalam ingatan kita tentang dana sumbangan pengembangan institusi di Unand atau di UNP dari tahun ketahun yang menimbulkan polemik. Ketika ditanya kepada mahasiswa, banyak yang tidak merasakan manfaatnya.  Khusus di Unand, dana tersebut selalu tanpa transparansi kepada mahasiswa. Entah kemana dana tersebut digunakan. Sehingga timbul pertanyaan, mungkinkah dikorupsi?.
Memang cita-cita luhur pendidikan bangsa ini telah tergerus oleh keserakahan segelintir orang terhadap dunia pendidikan. Perguruan tinggi berubah menjadi lahan subur mencari uang. Marwah pendidikan terjual dalam praktek jual beli pendidikan dalam penerimaan mahasiswa baru. Perguruan tinggi disulap menjadi pasar yang terus menerus mencari pembeli (red- mahasiswa). Sehingga satu kios pasar  (red-kelas) menjadi sesak tanpa memberi rasa nyaman. Dosen sebagai pelayan pendidikan pun menanggung dampak lelah melayani banyaknya pembeli. Sehingga kurang maksimal dalam memberikan pelayanan pendidikan. Mahasiswa pun menjadi korban. Harapan mendapatkan kepuasan ilmu menjadi sirna. Lalu inikah yang dinamakan universitas?.
Perbaikan Mutu
Perbaikan mutu pendidikan perguruan tinggi harus menjadi fokus utama. Perlu perbaikan di setiap lini mulai dari dosen, metode perkuliahan dan jumlah siswa di dalam suatu kelas sampai kepada fasilitas belajar mengajar. Menghidupkan diskusi ilmiah dikampus dan memberikan akses kepada mahasiswa untuk berperan aktif dalam kegiatan kampus yang berbau ilmiah seperti penelitian atau pengabdian kepada masyarakat perlu di galakkan. Tetapi bukan hanya sekedar Kuliah Kerja Nyata atau Praktek Kerja Lapangan. Masalah perbaikan gedung kuliah sehingga terkesan mewah adalah prioritas terakhir. Ibarat sebuah buku, tampilan luar yang bagus tak ada artinya jika isi dari buku tersebut tak ada bagusnya. Begitupun sebuah universitas.
Pernahkah pihak universitas tahu banyak dosen yang tak pandai mengajar. Sekedar memindahkan isi buku kedalam catatan mahasiswa tanpa memberikan ilmu yang dimiliki sang dosen. Lalu menjadikan universitas seperti negeri dongeng tanpa ada diskusi didalamnya. Mahasiswa hanya menjadi pendengar yang baik hingga akhir perkuliahan tanpa ada pertanyaan. Lalu dengan bangga sang dosen yakin telah melaksanakan tugasnya walaupun nol ilmu yang didapatkan mahasiswa.  Ironisnya, mahasiswa hanya diam mengikuti cara mengajar sang dosen. Kemudian merasa puas tanpa pernah protes asalkan mendapatkan nilai tinngi.
Pernakah pihak  universitas merasakan tidak efektifnya suasana belajar dengan jumlah mahasiswa yang terlalu ramai dan sesak didalam kelas. Sehingga memecah kosentrasi belajar. Atau pernakah pihak universitas menyadari bahwa buku-buku di perpustakaan telah usang di makan waktu dan tidak pernah ditambah sedangkan ilmu pengetahuan terus berkembang. Sehingga kebutuhan akan literatur-literatur baru sangat diperlukan. Pihak universitas hanya tau memiliki banyak mahasiswa sehingga merasa telah berhasil.
Sebelum bermimpi menjadi world class university, seyogyanya perguruan tinggi harus terlebih dahulu menjadi universitas sesungguhnya. Bukan sekedar pasar  yang ramai pembeli. Keberhasilan universitas bukan dinilai dari melahirkan banyak sarjana tetapi seberapa banya sarjana berkualitas yang dilahirkan. Universitas terbaik tidak pernah dinilai dari kemewahan sebuah gedung perkuliahan atau areal kampus tetapi dinilai dari kualiatas ilmu didalamnya yang bermanfaat. Jika telah dapat menjadi universitas sesungguhnya silahkan bermimpi menjadi World Class University.

Tidak ada komentar: