20 Agustus 2011

Benarkah Indonesia Merdeka? (Refleksi Hari Kemerdekaan)


Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand
66 tahun sudah Indonesia merdeka. Telah jauh lepas dari belenggu penjajah. Meninggalkan masa lalu penuh perjuangan dan pengorbanan. Darah para pahlawanpun telah mengering. Yang tersisa hanyalah sejarah tentang merebut sebuah kemerdekaan beserta makam pahlawan dan bangunan tua peninggalan sejarah. Lalu benarkah Indonesia merdeka?. Benar. Tetapi baru merdeka dari bangsa penjajah. Namun tidak atau tidak akan pernah merdeka dari keserakahan anak bangsa akan harta dan tahta yang terus menjajah.  
Walaupun sudah merdeka namun kemiskinan masih melanda. Korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur di tengah penderitaan rakyat. Angka penganguran dan kriminalitas melambung tinggi. Kekerasan menjadi tontonan dimana-dimana. Mulai dari perang kampung hingga perang akibat pemilukada. Hak warga negara mulai diprivatisasi dan dikomersialisasi khususnya dibidang pendidikan. Namun pemerintah terus  menutup mata dan teliga. Kurang peka melihat permasalahan bangsa. Akhirnya demo menjadi agenda rutin karena pemerintah gagal menjalankan pemerintahannya. Itukah tanda sudah kemerdekaan?
Mengulang Sejarah
Menoleh kebelakang, sejarah bangsa ini sungguh mengharukan. Dimana rakyat berjuang melawan kekuatan penjajah yang tak mengenal belas kasihan. Rakyat diperbudak melalui kerja paksa. Lalu hasil alam bangsa dikuras sebagai kas negara penjajah. Padahal rakyat juga dipaksa membayar pajak. Rakyatpun semakin bodoh karena tidak ada akses memperoleh pendidikan untuk anak pribumi. Lebih kurang 3,5 abad penderitaan tersebut. Akhirnya senjatapun diangkat demi satu tujuan. Merdeka. Dan pada tanggal 17 Agustus, kemerdekaan itu diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Lalu kini sejarah kembali terulang. Penjajah kembali menghantui bangsa ini. Bukan Portugis, Inggris, Belanda atau Jepang. Tetapi anak bangsa sendiri. Lewat korupsi mereke bernyanyi. Lewat kolusi dan nepotisme mereka menari. Kekuasaan dan jabatan menjadi ladang mencari uang. Bersembunyi dibalik meja kantor sampai kasusnya terungkap. Dikantor manapun pasti ada. Bahkan di lembaga peradilan sekalipun tempat keadilan dicari.
Segala sektor mengalami keterpurukan. Terutama sektor pendidikan, ekonomi, pemerintahan, politik dan hukum. Dibidang pendidikan, hak rakyat mendapatkan pendidikan dirampas. Pendidikan diprivatisasi dan dikomersialisasi. Pendidikan menjadi “barang” mewah dan mahal. Kunci memperoleh pendidikan hanyalah uang. Lihatlah begitu mahalnya biaya perguruan tinggi. Keberadaan RSBI juga menunjukkan adanya diskriminasi pendidikan. Akhirnya “pembodohan” zaman penjajahan terulang kembali.
Dibidang ekonomi, harga pangan terus merangkak naik ditengah penghasilan hanya pas-pasan. Wajar busung lapar terus mengahampiri. Akibatnya banyak yang meregang nyawa karena mati kelaparan. Begitupun pengangguran semakin bertambah. Diiringi pula dengan meningkatnya kriminalitas. Pilihan menjadi TKI sebagai solusi mengatasi pengangguran juga menimbulkan persoalan. Tak jarang para TKI mendapatkan siksaan. Kekakayan sumber daya alam tak menjamin kesejahteraan rakyat. Hanya pihak asing yang puas mengelola dan menikmati. Sedangkan kita hanya menjadi buruh dinegeri sendiri.   
Dibidang politik, wakil rakyat hanya mengobral janji. Dekat dengan rakyat sebelum pemilihan. Setelah duduk, lupa kembali. Jarang menemui rakyat bahkan tidak pernah sama sekali. Urusan studi banding keluar negeri selalu nomor satu.. Sering bolos ketika rapat soal rakyat. Cepat hadir jika rapat membahas kenaikan tunjangan. Sehingga Aspirasi rakyat hampir selalu diabaikan. Ironisnya, marah-marah merusak kantor ketika gajinya dipotong untuk kegiatan sosial (red- DPRD Padang).
            Dibidang hukum, mafia hukum terus bermunculan. Lembaga peradilan tak lagi bersih. Aparat penegak hukum bersatu padu membela mafia. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan. Kasus suappun merajalela. Suap polisi, jaksa, hakim dan pegawai lapas sering terjadi. Sehingga banyak polisi, jaksa dan hakim tersangkut kasus korupsi.
Penanganan kasus korupsi semakin berjalan lamban. Kejaksaan sering-sering mengulur waktu. KPK yang didirikan untuk memberantas korupsi mulai kehilangan taji. Memang keadilan mahal bagi rakyat miskin. Maling ayam dipenjara sedangkan maling uang rakyat menghirup udara bebas.
            Mengais Asa
            Setiap tahun saat memperingati hari kemerdekaan pasti terselip harapan dari ratusan juta rakyat untuk adanya perbaikan. Rakyat sudah lama menunggu bebas dari belenggu penjajahan. Penjajahan oleh anak bangsa sendiri. Keinginan untuk hidup aman dan sejahtera. Teredamnya konflik antar sesama penduduk. Menjauh dari kelaparan dan kemiskinan. Tersedinya lapangan kerja untuk menghapus penggaguran. tegaknya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lahirnya pendidikan murah dan terjangkau sehingga tidak ada lagi anak jalanan dan pengemis. Dan tak terdengar lagi TKI yang disiksa atau dianiaya akibat rendahnya pendidikan.
            Tentunya seluruh rakyat Indonesia juga tidak ingin dinjak-injak harga dirinya oleh bangsa lain. Apalagi negara kecil seperti Malaysia dan Singapura. Melainkan dapat berdiri bangga mensejajarkan diri dengan bangsa lain. Rakyat Indonesia tidak hanya ingin sekedar melihat sang merah putih berkibar dalam pertemuan bangsa-bangsa. Namun juga ingin dihormati oleh bangsa lain. Tidak dipandang sebelah mata keberadaannya dikancah dunia. Semoga harapan itu masih ada.
              
             

Tidak ada komentar: