Oleh: Sabri Hamri
Ketua DLM FHUA dan Anggota Forum Peduli Pendidikan
Dunia pendidikan di Indonesia telah memasuki babak baru. Babak yang tak pernah diharapkan sebahagian besar masyarakat . Dalam babak tersebut pendidikan telah menjadi barang mewah yang sulit didapatkan. Terutama pendidikan tinggi (red- Perguruan Tinggi). Tak terkecuali di negeri minang ini. Negeri yang telah melahirkan banyak tokoh bangsa seperti Hatta, Natsir, Syahrir dll. Bagaimana tokoh bangsa berikutnya dapat lahir ketika pendidikan mahal atu dikomersialisasikan. Bahkan dua perguruan tinggi negeri di Sumbar yang diharapkan ternyata tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta yang ada. Siapakah yang dapat disalahkan. Apakah pihak kmapus sebagai pembuat kebijakan atau negara yang tak mampu membiayainya.
Pada tahun 2009, calon mahasiswa baru dikejutkan dengan kebijakan rektor yakni menaikan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang ditetapkan di Unand. Kebijakan yang menuai banyak protes baik dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Hal ini dipicu karena kenaikan dana SPI. Pada tahun 2008 dana SPI hanya berkisar dibawah 500 ribu rupiah. Namun pada tahun berikutnya 2009 dan 2010, dana SPI megalami kenaikan hingga 25,5 Juta untuk Fakultas kedokteran Gigi. Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa harga pendidikan memang mahal. Setiap tahun harga tersebut terus meningkat seiring kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan. Dalam hukum jual beli semakin banyak permintaan semakin naik harga penawaran. Hukum ini juga berlaku di Unand. Semakin banyak peminat universitas, semakin mahal untuk proses masuknya. Sehingga yang terjadi pendidikan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Pendidikan hanya dapat dibeli dengan uang. Artinya, tanpa uang maka tidak ada kata untuk pendidikan. Hal ini jelas sebuah pelanggaran terhadap hak kostitusioonal warga negara. Karena mengenyam pendidikan adalah hak setiap orang tanpa ada pembatasan. Konstitusipun telah menjamin hak seseorang atas pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam pasai 31 ayat 1 UUD 1945.
Alasan yang disampaikan oleh pihak universitas bahwa kampus kekurangan dana adalah hal yang dapat diterima. Tetapi memberatkan masyarakat dalam membiayai kampus bukanlah pilihan tepat. Unand seharusnya melihat bagaimana kondisi masyarakat Indonesia khususnya di Sumbar. Sebahagian besar mayarakat hanya hidup sebagai petani. Tentu tidak mudah bagi mereka untuk membayar dana SPI tersebut. Sehingga sulit bagi anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi. Di lain sisi, penggunssn dana SPI sebagai dana pengembangan institusi harus di runut kembali. Melihat realita di lapangan, ternyata tidak terlihat pengembangan institusi yang cukup berarti. Baik dari segi fasilitas yang masih belum memadai maupun mutu pendidikan yang masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini bukan tanpa alasan. Dari berbagai sumber penilaian terhadap perguruan tinggi, Unand tidak lagi menjadi kampus terbaik di luar Pulau Jawa. Sungguh ironis jika Unand yang menetapkan dana SPI untuk pengembangan institusi ternyata tidak lebih baik dari sebelumnya .
Disini penulis berharap kepada pihak kampus untuk meninjau kembali kebijakan ini. Bahkan lebih baik apabila dicabut. Kebijakan ini tidak semestinya diberlakukan. Hal ini karena, pertama, kebijakan ini tidak membawa hasil yang di harapkan mahasiswa. Sebagai penyumbang dana tentunya mahasiswa harus mendapatkan hasil dari apa yang telah mereka sumbangkan. Kedua, kebijakan ini tidak relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia khususnya Sumbar. Sebahagian besar masyarakta bermata pencariaan hanya sebagai petani. Ketiga, kebijakan ini telah membatasi hak warga negara untuk memperoleh pendidikan. Artinya Unand tidak mendukung tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebaliknya apabila dana SPI ini tetap berjalan ada beberapa hal yang harus dilakukan Unand. Pertama, adanya transparansi yang jelas tentang penggunaan dana SPI tersebut. Unand tidak perlu menutupinya karena UU KIP telah menjamin ketebukaan informasi. Adanya kekisruhan yang terjadi antara pihak kampus dengan mahasiswa terkait aksi penolakan dana SPI serta transparasi dana tersebut harus dipahami oleh pihak kampus. Pihak kampus seharusnya melihat subtansi yang diinginkan oleh mahasiswa bukan mempermasalahkan aksi yang dilakukan. Kedua, janji yang diberikan untuk membantu masyarakat kurang mampu terkait dana SPI harus direalisasikan. Tidak hanya sekedar janji manis untuk menutupi permasalahan yang terjadi. Pemberian bantuan tersebut perlu mekanisme yang jelas yang diumukan secara jelas pula. Jangan sampai masyarakat juga sulit untuk mendapatkannya. Dan terakhir tentunya pemberian bantuan tersebut tidak salah sasaran dan ada unsur nepotisme didalamnya. Apabila ini tidak dapat dilakukan pencabutan dana SPI haru dilakukan karena sangat memberatkan masyarakat. Selain itu juga akan menghambat tujuan negara republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.