Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
“ Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju”. Begitulah sepenggal lirik lagu surat buat wakil rakyat (red- anggota dewan) dari Iwan Fals. Lagu yang sebenarnya menyindir kinerja anggota dewan yang dinilai gagal dalam menyampaikan suara rakyat.
Bahkan akhir-akhir ini buruknya kinerja wakil rakyat di perparah dengan kasus korupsi yang dilakukan anggota dewan tersebut baik ditingkat pusat maupun daerah yaitu DPR dan DPRD, dua institusi “kumpulan orang hebat” di negeri ini. Ironis memang jika wakil rakyat justru terjerat kasus korupsi. Padahal sejatinya wakil rakyat merupakan perpanjangan tangan dari rakyat. Dan korupsi hanya akan menambah penderitaan rakyat.
Beberapa tahun terakhir sudah banyak anggota dewan yang tersangkut kasus korupsi. Mungkin masyarakat Sumbar masih ingat dengan kasus korupsi berjamah anggota DPRD Sumbar. Kasus Al Amin Nasution yang yang divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada tahun 2009. Lalu kasus korupsi Djufri (Anggota DPR dan Mantan Walikota Bukittinggi ) yang ditangani Kejaksaan Tinggi Padang. Dan terakhir kasus M Nazaruddin kader dari partai demokrat.
Lalu mengapa wakil rakyat rela menyakiti hati rakyat?. Memperkaya diri dengan merugikan keuangan negara ditengah penderitaan bangsa. Ditengah mahalnya biaya pendidikan dan terpuruknya ekonomi bangsa. Dimana angka pengangguran dan kemiskinan semakin tinggi. Dimanakah hati nurani mereka?. Memang sulit jika harus mempertanyakan hati nurani. Karena mereka seakan tidak memiliki hati nurani.
Mahalnya biaya kampanye pemilu bisa menjadi faktor utama. Tak dapat dipungkiri para calon terpilih biasanya akan mengembalikan uang kampanye yang telah dikeluarkan. Minimal hitung-hitungan balik modal. Bayangkan gaji selama menjabat 5 tahun tentunya tidak cukup atau pas-pasan jika dibandingkan besarnya dana kampanye. Apalagi gaji tersebut dipotong secara “sukarela” untuk “balas jasa” ke parpol. Akhirnya korupsipun menjadi pilihan.
Partai politik juga patut bertanggungjawab atas korupsi di negeri ini. Pada saat pesta demokrasi berjalan baik tingkat pusat maupun daerah selalu diwarnai kecurangan. Dalam pemilihan legislatif, parpol membuka ruang dan kesempatan kepada setiap calon untuk memakai kendaraannya. Kemampuan dan kelayakan calon selalu tidak menjadi perhatian. Asal punya nama dan uang sudah pasti diberi kesempatan. Semakin besar nama calon dan semakin banyak uangnya maka nomor urut partai dapat dibeli. Sehingga calon lainnya pun hanya memiliki peluang kecil untuk bersaing dalam pemilu.
Hal ini kemudian diperparah oleh kebijakan partai melakukan pemotongan gaji kepada calonnya yang terpilih dalam pemilu. Suatu kontrak politik yang harus disetujui setiap calon. Lalu cukupkah gaji mereka setelah dipotong partai untuk mengembalikan uang kampanye. Jawabannya tidak. Sehingga segala cara di halalkan. Minimal memperbanyak tunjangan agar dapat mengembalikannya. Mulai dari tunjangan rumah sampai komunikasi. Dan bila belum mencukupi akhirnya korupsi kembali menjadi pilihan. Hal inilah yang sering terjadi di DPR maupun DPRD. Walaupun harus mengabaikan kesejahteraan rakyat yang telah memilihnya..
Ketidakberdayaan Penegak Hukum
Pemberantasan korupsi di DPR maupun DPRD tidaklah mudah. Penegak hukum cenderung dibuat tidak berdaya. Tak jarang penegak hukum malah terjerat kasus suap oleh tersangka korupsi. Bahkan tak jarang pula kasus korupsi yang terjadi telah terdapat persekongkolan antara legislatif dengan eksekutif dan yudikatif. Sehingga kasus tersebut berjalan lambat atau sengaja dimacetkan. Hal yang berbanding terbalik dengan kasus kecil yang melibatkan orang miskin. Kasusnya terbilang mudah dan cepat untuk mendapatkan vonis hakim,
Ketidakberdayaan penegakkan hukum tentunya membuat masyarakat semakin pesimis dengan agenda pemberantasan korupsi. Karena tidak ada jaminan keadilan dari penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun lembaga permasyaraktan dalam kasus korupsi. KPK sebagai lembaga independen yang diharapkan untuk melakukan pemberantasan korupsi pun belum mampu berbuat banyak. Buktinya M.Nazaruddin berani manggkir 2 kali dari panggilan KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dalam pembangunan wisma atlet SEA Games dan revitalisasi pengadaan saran dan prasana di Kemdiknas.
Salah satu bukti bahwa penegak hukum dibuat tidak berdaya yaitu kasus Djufri yang ditangani Kejati Padang. Kejati Padang terlihat berjalan lamban dalam menangani kasus tersebut. Sebelum menjabat anggota DPR dan masih menjadi Walikota Bukittinggi, belum keluarnya izin presiden untuk melakukan penyidikan terhadap Djufri menjadi alasan pembenar bagi kejaksaan terkait lambatnya penanganan kasus. Djufripun kemudian terpilih menjadi anggota DPR sehingga memiliki kekuasaan yang lebih besar, sehingga kejaksaanpun semakin sulit untuk memprosesnya.Walaupun kini Djufri sudah di tahan tetapi tetap saja membuktikan kepada masyarakat bahwa penanganan kasusnya berjalan lambat.
Koruptor (Sakit)
Dalih sakit yang digunakan M. Nazaruddin dan tersangka korupsi lainnya untuk mengulur waktu pemeriksaan adalah sebuah “kebohongan” besar di negeri ini. Bisa saja alasan sakit dimanfaatkan untuk menyelamatkan diri dari jerat hukum. Toh, alasan sakit ini pula, Syaukani terpidana korupsi menghirup udara bebas. Padahal justru merekalah yang telah menyakiti jutaan rakyat Indonesia. .Jika mereka sebenarnya tidak sakit, secara tidak langsung calon koruptor tersebut telah mendoakan dirinya untuk mendapatkan sakit berkepanjangan.
Meskipun sebahagian anggota dewan yang terjerat kasus korupsi tidak sakit. Namun korupsi yang dilakukannya merupakan perbuatan sakit dan mereka pun pantas dianggap “sakit”. Dan semakin banyak anggota dewan yang korupsi maka institusi DPR atau DPRD pun bisa dinggap lembaga sakit. Mengapa sakit?. Karena korupsi merupakan perbuatan yang tidak bermoral dan tidak punya hati nurani. Mengorbankan kepentingan rakyat untuk kepentingan pribadi. Jika hal ini terus berlanjut, maka rakyat akan semakin tidak percaya dengan wakilnya di DPR maupun DPRD.
Sudah saatnya wakil rakyat bangun dari tidurnya. Membenahi diri dan kembali menyuarakan suara rakyat. Tidak hanya datang, diam duduk dan dengar. Karena mereka dipilih bukan dilotre seperti lagu Iwal Fals diatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar