19 Juni 2011

Antara Soeharto vs Yudhoyono (Refleksi 13 Tahun Reformasi)


Oleh: Sabri Hamri 
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand
Padang Ekspres, 21 Mei 2011 

           
Tiga belas tahun reformasi bergulir. Pergantian tampuk kepemimpinanpun telah beralih sebanyak 4 kali. Habibie, Gus Dur, Megawati dan terakhir Yudhoyono  Namun, apakah agenda (cita-cita)  reformasi telah terwujud.

Agenda reformasi yang mencakup penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi dan pencabutan dwifungsi TNI/Polri, serta pemberian otonomi daerah seluas-luas tak berjalan dengan baik.
            Menarik ketika memperhatikan survey Indo Barometer. Ternyata mayoritas public menyatakan kondisi orde baru lebih baik ketimbang era reformasi.. Artinya, Soeharto sebagai penguasa orde baru tersebut lebih baik ketimbang Yudhoyono dan presiden era reformasi sebelumnya. Benarkah demikian atau sebaliknya.
Mungkinkah hasil tersebut rekayasa atau dipesan oleh pihak tertentu atau memang suara murni dari rakyat?. Disatu sisi, usia responden antara lain berusia 17 tahun cukup dipersoalkan. Karena bila dikurangi umur reformasi, maka saat akhir orde baru usia mereka baru berusia 3-4 tahun. Bagaimana cara mereka memberikan penilaian sedangkan mereka tidak merasakan langsung. Disisi lain, mereka juga tak lepas dari bagian sejarah. Setidak-tidaknya mereka mengetahui atau mendengar sebenarnya yang terjadi.    
            13 Tahun Reformasi
Jika direnungkan, tiga belas tahun bukannlah waktu yang singkat. Setelah bebas dari keterpasungan rezim Soeharto. Apalagi butuh perjuangan besar “melahirkan” reformasi. Walaupun  kenyataannya cita-cita reformasi belum terwujud sepenuhnya.
Diantara presiden era reformasi, Presiden Yudhoyono patut dipertanyakan. Setengah era reformasi ada dibawah kepemimpinannya Seharusnya sudah membawa banyak perubahan.  Namun buktinya penegakkan supremasi hukum hanya pepesan kosong. Praktek KKN semakin menjamur. Amandemen konstitusi masih diperlukan amandemen. Tragedi Semanggi dan pelanggaran HAM tak pernah terusut. Otonomi daerah pun kebablasan.
            .Yudhoyono dan Soeharto tak jauh berbeda. Negara tetap banyak diisi mafia hukum. Mafia pajak sampai mafia bola. Bayangkan, jika ini terus dibiarkan. Cita-cita reformasi akan menjadi sebuah angan-angan. Lantas sudah sejauh mana Yudhono berusaha memberantasnya. Cukupkah dengan Satgas Mafia Hukum.
           
Perlu catatan mengenai survey Indobarometer. Menurutnya di bidang hukum Yudhoyono lebih baik. Padahal dibidang hukum Yudhoyono tak lebih baik dari Soeharto. Toh, pengusutan peristiwa trisakti, pembunuhan Munir dan pelanggaran HAM  juga belum terusut.
Harus diakui tuntutan penegakkan supremasi hukum dan pemberantas KKN masih jauh dari cita-cita. Hukum diberlakukan bagi orang miskin. Ibarat mata pisau, hukum tumpul keatas tapi tajam ke bawah. Hukum pidana mudah menjerat si miskin, namun sulit menjerat si kaya.
Walaupun pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemeritahan dan wajib menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Namun tetap saja terjadi disparitas di dalam hukum.   Pengecualian-pengecualian tetap diberikan.
Uang dan kekuasaan dapat membeli hukum.  Sehingga jeratan hukum tidak akan mempan bagi si pemilik uang dan kekuasaan. Lalu sikap pesimis penegakkan hukumpun timbul. Benarkah Indonesia negara hukum. Lalu dimanakah keadilan dapat dicari.
Dalam pemberantasan korupsi tak jauh berbeda. Pemberantasan korupsi sering tebangpilih. Lihat saja, cukup sulit menjerat koruptor dari Partai Demokrat. Partai penguasa di negeri ini. Karena berlindung di bawah “ketiak” presiden. Maklum Presiden Yudhoyono berasal dari partai tersebut.
Presiden pun seakan diam. Memperulur waktu dalam memberi izin . Jika kepala daerah dari Partai Demokrat terlibat kasus korupsi. Sama halnya kasus di Kemenpora. Walaupun sering berkoar pemberantasan korupsi tidak boleh tebang pilih. Tetap saja kadernya terlindungi. Lantas lebih baikkah Yudhoyono dari Soeharto. Tidak jauh beda bahkan sama saja. Kroni Soeharto maupun Yudhoyono dapat belindung kepada presiden.
Realisasi Reformasi
Terlepas siapakah lebih baik antara Soeharto dan Yudhoyono. Terpenting realisasi cita-cita reformasi harus diwujudkan. Tiga belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Bangsa ini perlu banyak perubahan. Bukankah perubahan merupakan pengertian dari reformasi.
Ketika penegakkan hukum tidak dapat dilakukan, ketika itu pula kita tidak akan dapat merasakan sebuah perubahan. Saatnya kita menagih janji reformasi yang belum dapat terlaksana. Tentunya penegakan hukum dan pemberantasan KKN harus segera direalisasikan. Baik di pemerintah pusat maupun daerah.
Selanjutnya perlu pertimbangan untuk melakukan amandemen kelima. UUD saat ini sudah tak relevan dengan cita-cita bangsa dan keinginan rakyat. Selain itu agenda reformasi terkait otonomi daerah pelu dikaji ulang. Penerapan otonomi daerah banyak menimbulkan permasalahan. Mulai dari pemekaran daerah, ego kabupaten/kota terhadap provinsi. Isu menitikberatkan otonomi daerah ke provinsi patut di pertimbangankan. Karena kemajuan daerah kabupaten/kota yang satu dengan yang lain jauh berbeda. Hal ini dikarenakan keberadaan SDA yang tidak merata. Artinya, otonomi daerah tetap dipertahankan namun hanya sebatas provinsi.
Reformasi harus dipahami bukan hanya pelepasan dari keterpasungan dari rezim Soeharto. Tetapi juga menwujudkan cita-cita besar dari negara ini. Yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia. Euforia reformasi akan tidak berarti apabila tidak ada p;erubahan yang terjadi.
Rakyat sudah terlalu lama menunggu. Sudah cukup bosan melihat janji pemerintah tanpa bukti . Sehingga reformasi akhirnya hanya menjadi agenda tanpa realisasi. Belum lagi melihat pejuang reformasi yang justru tak mampu berbuat banyak ketika mendapatkan kekuasaan. Apakah kita akan berdiam diri?
 
   .

.

Tidak ada komentar: