31 Januari 2012

Ahli Koruptor (bukan) Ahli Kotor

Oleh : Sabri Hamri
Pemerhati Hukum dan Pendidikan
Padang Ekspres • Rabu, 21/12/2011
Menarik ketika membaca tulisan Ilham Kurniawan berjudul Ahli Koruptor (06/12/2011) dan Tulisan Lucky Raspati berjudul Kesesatan Logika “Ahli Koruptor” (17/12/2011) yang dimuat dikoran ini. Ilham Kurniawan mengatakan bahwa  bebasnya koruptor tidak terlepas dari peran kaum intelektual yang “melacurkan” gelar akademiknya (guru besar).
Atas pendapat tersebut Lukcy Raspati membantahnya dengan mengatakan bahwa tuduhan terkait bebasnya koruptor karena intervensi guru besar (profesor) sebagai ahli di persidangan sulit untuk diterima dengan logika. Bahkan sebuah kesesatan logika. Lalu pendapat manakah yang benar?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela salah satu pihak. Tetapi hanya mencari titik terang dari persoalan yang sebenarnya sedang terjadi. Sebagai bahagian dari civitas academika , penulis mencoba untuk menemukan jalan keluar dari perbedatan ini agar tidak semakin berlarut –larut. Bagaimanapun juga kedua penulis bahkan penulis berada dalam satu institusi yang sama
.

Selain itu, tulisan Kesesatan Logika “Ahli Koruptor” secara tidak langsung juga menyinggung LSM. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa banyak LSM menggunakan argumentum ad populum sebagai alat untuk memperjuangkan misinya. Semakin kontroversial isu yang digulirkan, maka semakin terbuka peluang untuk mendapatkan ketenaran/popularitas secara instan, baik secara personal maupun secara organisasi. Menurut penulis, ini hanya akan memperuncing perdebatan.

Nilai Keadilan Seorang Ahli
Pasal 184 KUHAP menjadi payung hukum mengenai keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam proses hukum acara pidana. Pasal 1 Point 28 KUHAP mendefenisikan keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya Pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Dalam proses peradilan termasuk pengadilan tindak pidan korupsi, penuntut umum maupun terdakwa dapat menghadirkan  ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana. Ahli dapat berasal dari akademisi, praktisi maupun birokrasi. KUHAP tidak menyebutkan secara detail, siapakah yang boleh dan tidak boleh menjadi ahli?. Sehingga tidak ada larangan maupun kewajiban bagi seseorang termasuk akademisi untuk menjadi ahli di persidangan.

Perdebatan ini muncul ketika para akademisi khususnya dosen fakultas hukum kemudian menjadi ahli yang meringankan terdakwa koruptor. Keberadaan akademis sebagai ahli yang meringankan terdakwa koruptor suatu hal yang kontradiktif. Disatu sisi, merekalah yang menanamkan nilai-nilai hukum dan keadilan kepada mahasiswa.
Namun di sisi lain mereka pulalah “pembela” terdakwa koruptor yang telah merampas keadilan dari masyarakat. Meskipun asas praduga tidak bersalah melekat pada seorang terdakwa, tetapi tetap perlu diingat korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sehingga terdakwa korupsi harus dikesampingkan secara luar biasa pula.
Jika kemudian, akademisi hukum yang menjadi ahli bagi terdakwa korupsi maka timbul sebuah pertanyaan: dimanakah letak nilai-nilai keadilan seorang ahli ketika apa yang diajarkan kepada mahasiswa jauh berbeda dalam prakteknya. Apakah akademisi yang menjadi ahli koruptor bukan ahli kotor?

Meskipun ahli bukanlah hakim yang dapat menetukan seseorang bersalah atau tidak. Namun keterangan ahli dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. Dimanapun posisi ahli baik sebagai ahli terdakwa maupun penuntut umum, dia akan tetap memberikan pendapat sesuai dengan posisinya.
Begitupun ahli yang dihadirkan terdakwa, maka dia akan berusaha memberika keterangan untuk meringankan terdakwa yang telah menunjuknya sebagai ahli. Bahkan berusaha meyakinkan hakim untuk membebaskan terdakwa. Sehingga tidak menutup  kemungkinan seorang ahli bisa memanipulasi, memelintir bahkan menghapuskan pasal-pasal yang menjadi dasar tuntutan.

Judicial Review Sebuah Pilihan
Karena ini tidak ada larangan bagi akademisi untuk menjadi ahli bagi terdakwa koruptor maka wajar sampai saat ini masih banyak terdakwa koruptor meminta kepada akademisi untuk menjadi ahli dalam proses persidangan. Pertimbagan terdakwa adalah keterangan ahli dari akademisi berjalan ampuh dimana beberapa kasus korupsi di vonis bebas. Jika melihat putusan terdahulu ketengan ahli menjadi pertimbangan hakim sebagai alat bukti dalam memutuskan perkara.

Tanpa disadari, pengaruh besar ahli akademisi dalam membebaskan terdakwa telah menampar wajah fakultas hukum sebagai tempat ditanamkannya nilai-nilai hukum dan keadilan karena para akademisinya memberikan keterangan ahli bagi terdakwa korupsi.  Sehingga tidak dapat disalahkan jika sebahagian lulusan Fakultas Hukum menjadi koruptor atau pembela koruptor ketika berkerja di dalam sistem peradilan. Karena mereka pernah dididik oleh dosen “pembela koruptor”.

Untuk mengakhiri perdebatan ini sekaligus mengembalikan nama baik perguruan tinggi khususnya fakultas hukum ada baiknya para aktivis anti korupsi kuhususnya akademisi anti korupsi mengajukan judicial review pasal-pasal yang mengatur keterangan ahli. Daripada terus menghujat dan bersikap sini kepada para akademisi yang memberikan ketergan ahli kepada koruptor. Alangkah baiknya negeri ini jika kritik diiringi dengan langkah konkrit.

Dalam pengujian ini dapat dimintakan putusan kondisional bersyarat terhadap pasal-pasal tersebut. Dimana pengertian ahli atau keterangan ahli bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sepanjang dimaknai akademisi dalam tindak pidana korupsi atau tidak pidana lainya yang dapat menciderai rasa keadilan masyarakat. Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan, maka akademisi tidak akan pernah lagi menjadi “ahli koruptor”. Sehingga kredibilitas perguruan tinggi tetap dipertahankan. Dan tidak terdengar lagi keberadana Ahli Koruptor atau Ahli Kotor.

Tidak ada komentar: