31 Januari 2012

2012, Optimisme di Tengah Pesimisme (Reflefksi Akhir Tahun Terhadap Penegakkan Hukum dan HAM)

Oleh : Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Padang Ekspres • Sabtu, 31/12/2011

Berbicara penegakan hukum tak dapat dipisahkan dari penegakan HAM. Hukum dan HAM dua kata yang saling menyatu satu sama lain. Pelanggaran hukum merupakan pelanggaran HAM. Begitupun sebaliknya. Salah satu cirri-ciri dari negara hukum yaitu adanya perlindungan HAM. Apakah negara Indonesia adalah negara hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM?.

(*)Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya Pasal 28 A-28 J memberikan jaminan HAM bagi setiap warga negara.  Secara tekstual, hukum sebagai panglima dan nilai-nilai HAM sebagai pedoman  dalam kehidupan masyarakat.


Namun dalam praktik, pelanggaran hukum dan HAM sering terjadi. Ironisnya, aparat penegak hukum yang seyogyanya mampu mengakkan hukum dan HAM justru menjadi penghambat semangat yang telah  dibangun oleh para pelaku perubahan konstitusi. Teks tersebut hanya tinggal coretan tinta yang nihil penerapan. Hukum masih tebang pilih. Sedangkan kepolisian bertindak sewenang-wenang melakukan pelanggaran HAM.

Dengan mudah hukum diperjualbelikan dan kekerasan dihalalkan sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi tergadaikan oleh kepentingan politik dan uang. Peradilan digarisbawahi sebagai zona tak bersih. Hakim dan Jaksa mudah disuap. Ditengah masyarakat, polisi berubah menjadi “serigala” menakutkan yang siap menerkan dibawah lindungan prosedur tetap (protap).

Dari Mesuji hingga Bima
Kasus Mesuji, tragedi Bima (24/12/2011) dan tragedi Freeport (10/10/2011) membuka mata hati kita semua terhadap minimnya perlindungan HAM di negeri ini. Kepentingan pengusaha dinomorsatukan diatas kepentingan rakyat. Pemerintah lupa akan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan HAM di negeri ini.

Kasus Mesuji dan Bima merupakan cerminan kegagalan pemerintah dalam bidang agraria. Penggusuran lahan di Mesuji dengan kekerasan baru terungkap. Padahal sudah berpuluh-puluh tahu Mesuji bergejolak. Begitupun pemberian izin tambang yang berdampak terhadap kerusakan mata air sebagai sumber irigasi warga di Bima menjadi pertanyaan menarik dimana sebenarnya keberpihakan pemerintah.
Sedangkan tragedi Freeport memberikan pemahaman kepada kita betapa “bodohnya” pemerintah mendapatkan hasil kecil dari ladang emas di negeri sendiri. Warga sekitar dijadikan sapi perahan denga upah tak sebanding oleh pengusaha Amerika Mesuji, Bima dan Freeport hanya beberapa kasus dari pelanggaran-pelanggaran HAM di negeri ini.
Bagaimana dengan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya? Seperti hak pendidikan dan kesehatan yang diperjualbelikan. Sehingga muncul adagium orang miskin dilarang sekolah dan sakit. Lalu dikemanakan tujuan Negara Indonesia?

Korupsi Memiskinkan
Tak jauh berbeda dari penegakkan HAM. Penegakkan hukum pun masih tebang pilih. Maling ayam diadili sedangkan maling uang negara ( koruptor, red) bebas menghirup udara segar. Sehingga cita-cita Indonesia bebas dari korupsi semakin jauh panggang dari api. Kasus Century mati ditengah jalan. Proses hukum kasus suap di Wisma Atlet dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya mampu menyentuh pemain kedua bukan pemain pertama.

Pengadilan Tipikor silih berganti membebaskan terdakwa korupsi. Putusan bebas di Jawa Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalsel dan daerah lainnya telah mengusik rasa keadilan masyarakat.

Uang negara dimaling tetapi mereka divonis bebas dan lepas untuk menghirup udara bebas.Jikapun ada yang divonis bersalah, hukuman ringan, remisi dan grasi siap menanti. Walaupun terakhir ditandatangani moratorium remisi korupsi, penulis melihat sekadar pencitraan politik presiden pasca-reshuffle.

Jika pun ada yang telah divonis bersalah coba dibandingkan, korupsi kelas kakap mendapatkan hukuman lebih ringan dari korupsi kelas teri. Lemahnya pemberantasan korupsi menjadi salah satu faktor kemiskinan di negeri ini. Menurut pengamat ekonomi Faisal Basri, kemiskinan terjadi di negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi. Korupsi menimbulkan kesenjangan dan meningkatkan kemiskinan di Indonesia. Saat ini banyak sirkulasi uang yang bocor dan tidak mengalir dengan seharusnya (Antara News.Com,17/2/2011).

 Bagaimana rakyat bisa sejahtera?. Anggaran yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat dimaling koruptor. Jika uang negara dikembalikan melalui putusan hakim yang adil tidak menjadi masalah tetapi bagaimana hakim justu memutus bebas atau lepas?

 Uang negara tetap berada dalam rekening-rekening para koruptor. Bahkan hakim dan jaksa yang menerima suap.
Memutus rantai korupsi memang bukan perkara mudah. Namun tetap diperlukan semangat dan keseriusan dalam memberantasnya. Ide pembubaran pengadilan Tipikor, hukuman memiskinan koruptor dan hukuman sosial, membangun kebun koruptor di sebelah kebun binatang atau membangun museum bahkan dibuang sepanjang adat adalah ide-ide yang perlu dikonkretkan. Karena korupsi tidak hanya merugikan uang negara tetapi juga memiskinkan rakyat Indonesia.

Optimisme Tahun 2012

Tahun 2011 dapat dikatakan sebagai tahun yang memilukan. Tahun yang ditutup dengan kekerasan di Mesuji, Bima dan Freeport. Sampai hari ini, kasus-kasus korupsi yang menyita perhatian publik masih belum tertuntaskan.

Semakin hari menjadi perkerjaan yang menumpuk. Jangan biarkan korupsi mendarah daging di negeri ini. Dan jangan biarkan kekerasan mulai dihalalkan di negeri ini. Pemerintah harus tegas dalam mengambil sikap. Bangun dari tidur panjang di atas kursi kekuasaan. Negeri ini bukan negeri dongeng yang tidak bosan mendengar retorika presiden penuh janji-janji.

Tetapi negeri nyata yang di dalamnya terdapat harapan jutaan rakyat Indonesia agar hukum dan HAM ditegakkan. Penulis yakin di tengah pesismisme rakyat terhadap penegakan hukum di Indonesia, optimisme tahun 2012 untuk perubahan masih ada.

Tidak ada komentar: