Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Haluan, 25 Mei 2011
Korupsi dunia pendidikan merupakan masalah besar buat bangsa ini. Perlu diluruskan korupsi tidak hanya menyangkut masalah keuangan. Namun masalah lainnya. Secara harfiah korupsi memiliki makna penyimpangan.
Penyimpangan dunia pendidikan mencakup masalah yang kompleks. Mulai dari korupsi anggaran pendidikan sampai kepada korupsi waktu mengajar. Hal ini sering terjadi dalam proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi.
Dalam hal korupsi yang merugikan kekayaan negara, Komisi Pemberantasan Korupsi masih mencatat tingkat pengaduan yang cukup tinggi terkait dugaan korupsi di ranah pendidikan.
Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Haryono Umar, pengaduan yang berkaitan pendidikan itu tidak hanya berasal dari pendidikan dasar saja, namun, ada juga yang berhubungan dengan pendidikan tinggi (Pikiran Rakyat 29/4)
Kasus korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional, salah satu bukti nyata buat kita semua bahwa pendidikan menjadi sasaran buat para koruptor. Cukup masuk akal karena anggaran pendidikan lebih besar dari anggaran lainnya. Yakni 20% dari APBN. Tentunya peluang korupsi terbuka lebar di institusi tersebut.
Korupsi dunia pendidikan tidaklah sejalan dengan tujuan pendidikan. Pendidikan sarana mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sarana memperkaya para koruptor.
Sungguh ironis jika penyelenggara pendidikan justru melakukan korupsi. Padahal tanggungjawabnya turut mengkampanyekan anti korupsi melalui bangku pendidikan. Apakah yang akan terjadi terhadap pendidikan kedepannya?. Apakah cita-cita founding father dapat terwujud?.
Ketika dalam dunia pendidikan tumbuh “budaya” korupsi. Maka kemajuan pendidikan akan “jauh api dari panggang”. Kita dapat melihat, saat ini pendidikan Indonesia membutuhkan dana besar. Banyak sekolah yang masih memprihatikan. Seperti sekolah-sekolah di pelosok nagari (red-desa). Butuh gedung baru dan buku bacaan yang masih kurang.
Korupsi Bertingkat
Tidak dapat dipungkiri. Korupsi dunia pendidkan dimulai dari pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Hal ini terlihat ketika pengambilan rapor. Orangtua murid sering “dibebankan” untuk memberikan sumbangan sukarela. Sukarela dengan sedikit paksaan.
Sebagai pengganti “keringat” wali kelas. Sumbangan pasti diberikan walaupun terkadang tak pernah ikhlas. Selain itu uang kas kelas yang dikumpulkan siswa setiap bulannya acapkali tidak digunakan dan akhirnya diserahkan kepada walikelas. Bukankah ini korupsi kecil-kecilan.
Tidak sampai disitu, kewajiban membeli seragam sekolah perlu menjadi catatan bersama. Karena seragam tersebut dijual dengan harga yang jauh berbeda dengan harga pasaran. Sebahagian guru juga menjual buku wajib dengan harga yang mahal dan wajib dibeli oleh siswa. Dengan dalih tak ada buku tak bisa belajar.
Walaupun tidak semua sekolah atau melakukan hal yang sama. Namun hal ini cukup menggambarkan kepada kita bahwa pendidikan dasar dan menengah telah berada di tepi jurang kehancuran.
Dalam hal ini kesejahteraan guru harus mendapat perhatian. Bisa saja praktek korupsi di sekolah tak lepas dari terlalu rumit masalah ekonomi yang dihadapi guru. Perlu pengkajian. Sejauh mana sertifikasi guru dapat mengatasi permasalahan. Kenaikan gaji kecil ditengah mahalnya biaya hidup dinegeri ini.
Penulis melihat sampai hari ini masih banyak guru yang hidup dibawah berkecukupan. Padahal mereka pintu terdepan dalam menwujudkan cita-cita bangsa.Sehingga perlu diprioritaskan.
Perguruan Tinggi (PT) pun tak jauh berbeda. Bahkan lebih parah. Pendidikan tertinggi ini sering terjadi praktek KKN. Tidak hanya korupsi tetapi juga nepotisme. Pemberian beasiswa, penerimaan mahasiswa, penerimaan dosen tak lepas dari praktek tersebut.
Pemberian beasiswa kurang mampu seringkali tidak tepat sasaran. Justru diterima mahasiswa yang mampu. Bahkan mahasiswa tersebut pergi kekampus menggunakan mobil. Hal ini tak lepas karena sang mahasiswa merupakan anak dosen atau orangtuanya alumni terpandang dikampus. Bukankah ini sebuah nepotisme. Lebih ironisnya, mahasiswa mampu tersebut justru yang mengajukan diri untuk mendapatkan beasiswa kurang mampu. Halalkah beasiawa tersebut mereka terima?.
Di saat tahun ajaran baru PT memanfaatkannya untuk “ memeras mahasiswa”. Ini terjadi dalam penerimaan jalur khusus. Jalur masuk PT Negeri selain UMB dan SNMPTN. Apalagi banyak PT Negeri yang menetapkan kuota jalur khusus lebih besar dari dua jalur tersebut. Mahasiswa dari kalangan mampu tentu punya peluang besar dibandingkan mahasiswa miskin.
Apabila gagal dalam seleksi UMB dan SNMPTM, mereka yang mampu akan mencoba jalur khusus tersebut. Dan pihak kampus dapat memanfaatkan untuk mencari keuntungan dengan menetapkan biaya masuk yang besar. Akhirnya mereka yang mampulah yang diprioritaskan. Sehingga disparitas dan diskriminasi pendidikanpun tak dapat terhindarkan.
Lain halnya dengan penerimaan dosen. Penerimaan dosen sering dipengaruhi oleh kekuasaan. Apabila calon dosen dekat atau bersaudara dengan pimpinan, peluang untuk menjadi dosen terbuka lebar.
Jika calon dosen memiliki kemampuan dan layak tidak menjadi masalah. Hal itu pasti dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa bantuan pimpinan mereka pasti layak menjadi dosen. Tapi bagaimanakah sebaliknya?. Ternyata dosen tersebut tidak memiliki pengetahuan dan tidak mampu menjadi dosen. Hanya riwayat pendidikan di universitas ternama yang dibanggakan. Apakah proses pendidikan mahasiswa dapat berjalan?. Jawabannya pasti tidak. Mahasiswa tidak akan mendapatkan ilmu apa-apa.
Contoh-contoh diatas tentulah tidak baik buat bangsa ini. Bangsa yang tengah berpacu dalam memperbaiki pendidikan. Mengejar ketertinggalan dari negara lain. Bahkan dari negara tetangga yang sebelumnya jauh berada dibawah kita.
Transparansi Pendidikan
Lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), tentu membawa harapan bagi masyarakat. UU KIP dapat dijadikan payung hukum dalam menuntut transparansi pendidikan. Terutama dana pendidikan. Selama ini dana APBN yang dianggarkan untuk pendidikan tidak jelas kemana muaranya.
Selain transparansi dana pendidikan, transparansi penerimaan beasiswa, mahasiswa serta penerimaan dosen di perguruan tinggi harus dipenuhi.Hal ini dapat meminimalisir praktek KKN. Agar mahasiswa tidak mampu tidak dirampas haknya meperoleh beasiswa. Sehingga dapat membiayai kuliahnya dan tidak putus ditengah jalan. Dan tentunya tidak ada lagi praktek KKN dalam penerimaan mahasiswa maupun dosen.
Bayangkan jika pendidikan diserahkan kepada dosen yang tidak memiliki kemampuan layak dalam mengajar. Namun diberikan kepercayaan untuk mendidik mahasiswa. Hal ini akan memperburuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak akan mampu menghasilkan kaum intelektual muda.
Perlindungan hak masyarakat atas anggaran pendidikan adalah sebuah kewajiban. Masyarakat berhak tahu kemanakah anggaran pendidikan digunakan. Apakah anggaran tersebut telah dimaksimalkan atau sebaliknya. Setidaknya masyarakat dapat menjalankan sistem kontrolnya terhadap pemerintah terkait penggunaan anggaran pendidikan. Karena DPR selama ini gagal dalam mewakili rakyat mengawasi pendidikan.
Perlu diakui saat ini transparansi pendidikan masih sulit didapatkan. Banyak pihak yang enggan memberikannya. Seperti ada ketakutan yang disimpan. Baik sekolah maupun perguruan tinggi. Baik dekanat maupun fakultas. Perlu tindakan tegas yang diberikan kepada pihak yang menutupi-menutupi anggaran tersebut.
Jika hal ini terus dibiarkan, dunia pendidikan Indonesia akan menjadi lahan baru bagi para koruptor. Mulai dari institusi terbawah yaitu pendidikan dasar sampai kepada institusi tertinggi yaitu Kementerian Pendidikan Nasional. Lalu, akankah kita biarkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar