Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Menarik ketika membaca tulisan Adhie M. Massardi (Koorditor Gerakan Indonesia Bersih) di Padang Ekspress, 30 Mei 2011. Tulisan yang berjudul Orang-Orang Binaan Jenderal Yudhonono (red-presiden) tersebut layak untuk direnungkan. Inti tulian ini beranjak dari buku gurita cikeas mengenai KKN keluarga presiden sampai kepada gagalnya Yudhonyono sebagai dewan pembina demokrat dalam membina kadernya.
Membaca tulisan Adhie M massardi tak dapat dipisahkan dari korupsi yang dilakukan oleh kader partai politik(parpol). Karena sebahagian besar kasus korupsi di negara ini memang tak terlepas dari terlibatnya kader parpol. Parapol tersebut didominasi oleh partai-partai besar. Bahkan merupakan partai koalisi yang mendukung pemerintahan.
Ironis memang jika kader parpol justru terlibat korupsi. Apalagi mereka yang duduk di Senayan sebagai wakil rakyat. Padahal sejatinya parpol sebagai representatif hak berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat warga negara. Hal ini akan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap keberadaan parpol. Belum lagi ditambah masyarakat sudah mulai tidak percaya dengan wakilnya di DPR maupun DPRD.
Korupsi ditubuh parpol bukanlah hal yang baru. Melihat sejarah, rezim orde baru menjadi saksi bisu korupsi kader parpol. Salah satu bukti, Soeharto yang terlibat kasus korupsi sebagai presiden juga merupakan orang nomor satu di Golkar. Tidak hanya korupsi. Sejarahpun mencatat rezim Soeharto sangat lekat dengan praktek kolusi dan nepotisme.
Setelah reformasi berhasil melengserkan rezim orde baru ternyata korupsi ditubuh parpol bertambah parah. Bahkan ICW menilai kasus-kasus korupsi yang melibatkan parpol akan terus bertambah.
“Mahalnya biaya” kampanye pemilu bisa menjadi penyebab utamanya. Tidak dapat dipungkiri para calon terpilih biasanya akan mengembalikan uang kampanye yang telah dikeluarkan. Gaji mereka selama menjabat 5 tahun tentunya tidak cukup. Apalagi gaji tersebut dipotong untuk “balas jasa” ke parpol. Akhirnya mereka pun menjadi koruptor.
Dosa Parpol
Parpol patut bertanggungjawab atas korupsi di negeri ini. Pola perekrutan kader secara sepihak tanpa memandang kelayakan merupakan dosa terbesar parpol. Hal ini terjadi saat pesta demokrasi berjalan di negeri ini. Baik tingkat pusat maupun daerah. Pemilihan presiden, pemilihan legislatif sampai pemilu kepala daerah. Parpol membuka ruang dan kesempatan kepada setiap calon untuk memakai kendaraannya. Dalam hal ini rekam jejak sang calon selalu diabaikan. Yang penting punya nama dan uang.
Dosa parpolpun bertambah ketika menetapkan kebijakan pemotongan gaji kepada kadernya yang terpilih dalam pemilu. Kontrak politik yang harus disetujui jauh sebelum pengusungan calon. Bayangkan cukupkah gaji mereka setelah dipotong partai untuk mengembalikan uang kampanye. Akhirnya korupsi pun berbicara. Jika tidak, minimal memperbanyak tunjangan agar dapat mengembalikannya. Mulai dari tunjangan rumah sampai komunikasi. Hal ini sering terjadi di kursi dewan. Akhirnya kesejahraan rakyatpun terabaikan.
Pemilukada lebih memperparah keadaan. Parpol besar biasanya memasang “label mahal” bagi pasangan calon yang berminat memakai kendaraannya. Biaya yang dikeluarkan pasangan calon dapat mencapai milyaran rupiah bahkan puluhan milyar rupiah. Belum ditambah biaya kampanye yang juga mencapai milyaran rupiah. Mungkinkah gaji 5 tahun mencukupi untuk menutupi biaya tersebut. Mau tidak mau korupsilah jalan satu-satunya untuk menutupi. Lihatlah sudah banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Mulai dari bupati/walikota sampai kepada gubernur.
Demokrat Berbicara
Kini demokratpun ikut berbicara. Bukan berbicara wacana pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih ala SBY. Tetapi berbicara korupsi lewat kadernya. Kasus Menegpora sampai Nazarudin. Kasus Djufri mantan Walikota Bukit Tinggi sampai vonis bebas Agusrin (Gubernur Bengkulu) terdakwa korupsi APBD Bengkulu yang menyakiti rasa keadilan masyarakat. Semuanya merupakan kader partai demokrat. Partai penguasa di negeri ini. Lalu benarkah SBY sebagai dewan pembina gagal dalam membina kadernya?. Seperti yang diutarakan oleh Adhie M. Massardi dalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti ini, SBY tentu dalam keadaan serba salah. Disatu sisi, SBY ingin membuktikan komitmennya sebagai presiden dalam menwujudkan Indonesia bersih dari korupsi. Dalam pidatonya selalu menekankan tidak ada tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Namun disisi lain,SBY tak ingin mencoreng muka parpolnya sendiri. Parpol yang telah dibesarkannya. Lalu apakah yang akan dilakukan SBY?. Apakah bersikap pasrah menerima keadaan?. Sehingga secara tak langsung melindungi kadernya yang terlibat korupsi.
Perlindungan SBY terhadap kadernya pun sudah terlihat sebelumnya. Buktinya penyidikan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terutama dari partai demokrat sulit mendapatkan izin tertulis presiden. Salah satunya kasus Djufri yang berasal dari partai demokrat. Ironisnya undang-undanglah yang melegitimasinya.
Legitimasi inipun sering menjadi alasan bagi pihak kejaksaan terkaitnya lambannya penangan kasus di daerah. Kejakssan selalu terbentur oleh izin presiden yang belum dikeluarkan. Lalu siapakah yang disalahkan?. Parpol sebagai penanggung dosa, presiden sebagai pemberi izin atau kejaksaan sebagai penyidik.
Parpol Bersih
Awal mula kasus korupsi yang melibatkan kader parpol bermula dari parpol itu sendiri. Permasalahan muncul ketika sikap parpol yang “tidak bersih” dalam merekrut kader bahkan calon untuk maju dalam pemilu. Parpol saat ini hanya mengedepankan kepentingan politik (red- kepentingan pribadi) dibandingkan kepentingan masyarakat luas.
Pengertian parpolpun bergeser sebagai kendaraan penguasa. Hanya alat merebut kekuasaan. Tidak masalah jika calon yang dinaikkan adalah calon yang kompeten dan mampu menyampaikan aspirasi rakyat serta menjalankan tugasnya dengan baik. Namun akan menjadi masalah jika sebailknya. Korupsi akan semakin menjamur. Rakyat semakin bertambah menderita. Negarapun akan berada dijurang kehancuran.
Penulis yakin sebahagian masyarakarat masih menunggu kehadiran parpol bersih. Parpol yang mampu menyuarakan suara rakyat. Parpol yang bersih kadernya dari korupsi. Apabila korupsi di tubuh parpol dapat di berantas. Lambat laun, Indonesia bersih dari korupsi dapat diwujudkan. Karena korupsi kader parpol adalah korupsi terbesar di negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar