18 November 2010

Pendidikan, Mimpi Yang Sulit Terwujud

(Kilas Balik Pendidikan di Indonesia)
Oleh: Sabri Hamri
Anggota Penuh LAM&PK FHUA dan Ketua Formatur Forum Peduli Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Salah satu sarana untuk memperoleh kesejahteraan. Merupakan jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi menwujudkan tujuan dari negara Indonesia. Konstitusipun telah menjamin hak setiap warga negara untuk meperoleh pendidikan tanpa terkecuali. Dahulu, ketika bangsa ini terjajah tanpa dapat merasakan pendidikan yang layak. Para tokoh bangsa sekuat tenaga memikirkan bagaimana anak negeri dapat mengenyam pendidikan. Namun, kini setelah negeri ini lepas dari pasung penjajah tersebut pendidikan tetap masih sulit didapatkan. Hal ini bukan dikarenakan tidak tersedianya pendidikan, tetapi dikarenakan oleh sulitnya menjangkau pendidikan tersebut. Bak slogan “pendidikan mahal harganya”. Pendidikan hanya dapat dijangkau dengan uang. Uang telah menjadi kunci utama untuk mendapatkan pendidikan.
Komersialisasi dan Kastanisasi
Masih segar dalam ingatan kita ketika UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) di berlakukan pada tahun 2009. Hampir jutaan orang berteriak keras. Mulai dari lapisan masyarakat hingga mahasiswa. Tak jarang diantaranya turun ke jalan menyampaikan aspirasi. Menolak keberadaan UU tersebut. UU BHP telah dianggap memainkan peran dalam mengkomersialisasikan dunia pendidikan. Dalam konsep UU BHP, pendidikan dapat melakukan investasi. Seperti bisnis menggiurkan yang menguntungkan. Dapat meraup keuntungan besar untuk kepentingan pribadi. Pendidikan bagaikan saham yang dapat diperjualbelikan. Tidak hanya sampai itu. UU BHP juga menggambarkan kepada kita bahwa negara ingin melepaskan tanggungjawabnya. Tanggungjawab untuk membiayai pendidikan. Untunglah Mahkamah Konstitusi merespon teriakan masyarakat dan mahasiswa dengan menolak UU BHP. Dalam putusannya MK memutuskan UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dicabut.
Selanjutnya selang beberapa bulan dari putusan MK tersebut. Masyarakat kembali dikejutkan dengan keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah yang menetapkan harga mahal bagi siswanya. Tak tanggung-tanggung uang masuk sekolah ini berkisar antara 5 juta sampai belasan jutaan rupiah. Disatu sisi, sekolah yang mempunyai tujuan untuk meningkatan daya saing internasional ini memang perlu dipertahankan. Namun disis lain, harga mahal yang ditetapkan perlu dipertimbangkan . Alasan yang disampaikan pihak sekolah untuk mebiayai RSBI membutuhkan dana yang sangat besar sehingga diperlukan partisispasi masyarakat adalah alasan yang tak dapat diterima. Hal ini seharusnya dikembalikan kepada tanggungjawab negara. Bukan sebaliknya dibebankan kepada masyarakat. Perlu dicatat dana pendidikan juga berasal dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Toh, kenapa masyarakat harus dibebankan untuk kedua kalinya.
Melihat kondisi hari ini, tidak semua masyarakat mampu untuk mengeluarkan uang tersebut. Bagaimanapula dengan siswa berprestasi namun berasal dari kalangan tidak mampu untuk mengenyam pendidikan di RSBI. Dalam tahap ini RSBI telah membuka ruang dalam mengkastanisasikan pendidikan. Pendidikan tebagi-bagi didalam kelas-kelas berbeda. RSBI telah mengelompokan diri sebagai sekolah berkelas atas (red- mewah). Sekolah yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan orang yang mampu. Jelas hal ini adalah sebuah pelanggaran. Mendiskriminasikan seseorang dalam memperoleh pendidikan adalah pelanggaran HAM . Hal ini seperti mengingatkan kita kembali disaat bangsa Belanda memberikan kelas berbeda terhadap anak-anak pribumi dengan golongan eropa dan asia timur. Pribumi menempati kelas paling bawah. Mungkinkah hal ini kembali terjadi.
Di Tepi Jurang
Pendidikan kini memang telah berada di tepi jurang. Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi juga bisa dijadikan sebagai lahan basah segelintir orang yang tidak bertanggungjawab untuk meraup uang. Tanpa berburuk sangka, hal seperti ini dapat saja terjadi karena Lord Acton mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup Jika pendidikan dasar dan menengah bisa mejadikan RSBI sebagai lahan penghasilan. Kini pendidikan tinggi (red- PTN) juga bisa melakukan hal yang sama. Menetapakan sumbangan bagi mahasiswa baru dengan nama yang berbeda-beda. Sumbangan yang tentunya cukup memberatkan mahasiswa baru. Namun, tidak ada yang dapat menolaknya. Karena dana tersebut telah menjadi harga mati yang harus dibayar.
Walaupun ada keringanan yang diberikan bagi masyarakat tidak mampu. Tetapi tidak ada mekanisme jelas yang diberikan dalam memperoleh keringanan tersebut. Sehingga banyak masyarakat yang tidak tahu. Pada akhinya tidak sedikit dari mereka yang lulus seleksi harus mengundurkan diri karena terkendala biaya. Seharusnya PTN sadar bahwa keberadaanya adalah untuk menghasilkan kaum intelektual muda. Para penerus bangsa yang akan memajukan negara. Dan untuk menghasilkan kaum intelektual muda tersebut salah satunya dengan memberikan kesempatan kepada mereka yang terkendala oleh biaya.

Beherti Bermimpi
Hari ini sudah saatnya sebahagian masyarakat Indonesia berhenti bermimpi. Bermimpi untuk mendapatkan pendidikan adalah hal yang sulit diwujudkan. Meskipun rasa optimesme itu masih ada tapi selama pemerintah tidak mau membuka mata. Mimpi tersebut tidak akan pernah terwujud. Pendidikan hanya dapat dirasakan oleh kalangan berduit. Orang-orang yang mampu membeli pendidikan dengan harga yang ditawarkan. Bangsa ini mungkin bisa sedikit berbangga (-red: berkilah) dengan prestasi anak bangsa. Walaupun Indeks Pembangunan Pendidikan menempati peringkat 65 dari 128 negara. Indonesia mampu meraih medali emas dalam olimpiade Internasional. Mereka mampu mengharumkan nama bangsa dikancah Internasional. Namun hal tersebut tetap tak berarti selama jutataan anak Indonesia masih tidak mampu menggapai pendidikan.

Tidak ada komentar: