Oleh: Sabri Hamri
Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universita Andalas
Padang Ekspress, 5 Mei 2010
Buruh merupakan salah satu tenaga kerja yang semestinya menjadi sorotan paling penting bagi pengusaha maupun penguasa. Karena buruh merupakan pahlawan yang telah menghasilkan ribuan produksi untuk kebutuhan masyarakat dan pekerjaan lainnya yang menghasilkan jutaan uang bagi pengusaha maupun pemerintah melalui pajak. Namun mengapa sampai hari ini, masih banyak permasalahn buruh yang terjadi termasuk di provinsi Sumatera Barat mulai dari upah sampai kepada keselamatan dan kesejahteraan buruh. Nasib buruh terlihat berbanding terbalik dengan pegusaha yang telah menjadikan mereka sebagai mesin uang tanpa memperhatikan keselamatan dan kesejahterannya. Tak dapat dielakkan, keselamatan mereka selalu dinomor duakan dan kesejahteraan mereka hanya janji-janji yang tidak pernah ditepati.
Bukankah sejak negara Indonesia di proklamirkan, para founding father telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi warga negara. Dimana dalam pelaksaannya diperlukan perlindungan sebagai jaminan. Hak asasi ini kemudian tertuang di dalam konstitusi yakni Undang-undang Dasar 1945. Selanjutnya pada perkembangannya, pemerintah daerah telah menetapkan kewenanagan di bidang ketenagakerjaan meliputi perancanaan, pelaksanaan , sampai kepada pengendalian yang diatur dalam undang-undang. Hanya saja seiring perjalanan waktu keinginan memang selalu tidak sesuai dengan kenyataan. Cita-cita luhur dari pendiri negara telah ternodai oleh sifat serakah dari penguasa dan pengusaha.
Buruh pasca gempa 30 September
Masalah buruh di Sumatera Barat semakin pelik pasca gempa 30 September 2009. Gempa yang telah meluluhlantakan perusahaan dengan jumlah buruh besar(red: karyawan). Tercatat lebih kurang 10 ribu hingga 20 ribu karyawan dirumahkan akibat rusaknya bangunan tempat usaha. Tentunya kejadian tersebut semakin menambah jumlah pengangguran di Sumbar. Lebih kurang 7 bulan pascagempa di Sumbar hanya sebagian kecil perusahaan yang dapat di operasikan kembali. Lalu bagaimanakah dengan buruh-buruh lainnya yang nasibnya masih terkatung-katung sampai saat ini?. Tidak sedikit diantara mereka yang menerima dengan pasrah tidak bekerja namun dibayar separuh atau pindah ke tempat lain, asal masih mendapatkan gaji. Siapakah yang dapat disalahkan?. Pengusaha ataukah pemerintah. Tidak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini karena gempa merupakan kehendak Tuhan diluar betas kemampuan manusia. Namun perlu disadari pengusaha maupun pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki kepada keadaan semula.
Selain akibat gempa, masih banyak akibat-akibat lain menyebabkan buruh tidak mendapatkan kesejahteraan seperti kurangnya kepedulian perusahaan terhadap karyawannya. Imbalan yang diterima buruh tidak setimpal dengan keringat yang telah dikeluarkannya. Bahkan tidak sedikit pula perusahaan telah melanggar ketentuan yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Pilkada dan Buruh
Perhelatan pesta demokrasi 5 tahun sekali di Sumbar dan kabupaten/kota di Sumbar yang akan digelar merupakan salah satu moment bagi buruh untuk menaruh harapan besar kepada setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur maupun bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Penulis melihat bahwa isu kesejahteran buruh yang merupakan isu strategis telah dikesampingkan oleh setiap pasangan calon. Pasangan calon hanya memfokuskan diri kepada isu pendidikan dan kesehatan. Bukan berarti isu pendidikan dan kesehatan tidak penting. Tetapi isu kesejahteraan buruh adalah isu yang perlu dipertimbangkan karena buruh memiliki peranan penting dalam pembangunan 5 tahun kedepannya. Bayangkan jika buruh melakukan mogok kerja karena tidak terpenuhi hak-haknya maka akan berdampak kepada matinya sektor usaha daerah. Seyogyanyalah pasangan calon harus meningkatkan kesejahteraan buruh sebagi salah satu program utama apabila mereka terpilih nantinya. Bukankah pasangan calon terpilih nantinya juga merupakan buruh dalam arti sempit atau pelayan yang akan melayani masyarakat. Dalam pengertian buruh diatas, tentunya perlu keseimbangan antara kesejahteraan buruh yang bekerja untuk menghasilkan produksi sebagai kebutuhan masyarakat atau buruh yang melakukan pekerjaan lainnya dengan buruh (red: kepala daerah) yang mengabdikan diri kepada masyarakat. Jika kepala daerah berada diposisi buruh saat ini, tentunya mereka akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan buruh dalam menuntut hak-haknya kepada pengusaha maupun pemerintah.
May Day, Sebuah Harapan
Tanpa disadari peringatan hari buruh yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 1 Mei yang dikenal dengan May Day hanya sebagai simbol perlawanan buruh dalam menuntut hak-hak yang telah dirampas oleh pengusaha. Bukan hanya sebagai ceremonial yang selama ini sering kita dengar. Mereka bukanlah budak seperti zaman penjajahan yang telah memperlakukan buruh sebagai mesin penghasil uang tetapi mereka adalah para pahlawan di negara ini. Kemerdekaan selama 64 tahun tidak akan bermakna jika tidak diiringi oleh kemerdekaan kaum buruh tersebut. Walaupun teriakan para buruh dan aktivis buruh selama ini belum mampu menggugah hati para pengusaha maupun pemerintah yang telah tertutup mata hatinya karena menganggap teriakan mereka hanya sebuah nyanyian sumbang. Namun setidaknya inilah bentuk perlawanan dari mereka untuk menjemput harapan yang pernah terpikirkan oleh founding father. Semoga pemimpin Sumatera Barat kedepannya merupakan pemimpin yang peduli kepada nasib buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar