01 Mei 2013

Ujian Nasional, Bom Waktu Dunia Pendidikan

Oleh : Sabri Hamri, SH
Pemerhati Hukum, HAM dan Pendidikan

Pelaksanaan UN SMA dan SMP 2013 telah usai. Namun, niat pemerintah untuk memperbaiki karut marut ujian nasional (UN) tahun sebelumnya justru menimbulkan kekacauan luar biasa. Untuk pertama kali dalam sejarah pendidikan Indonesia pelaksaan UN ditunda di 11 provinsi. Penundaan UN tidak hanya menampar wajah pendidikan Indonesia tetapi menandakan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Keterlambatan UN di 11 provinsi di Indonesia merupakan akumulasi dari kegagalan pemerintah dalam pelaksanaan (red- pemaksaan) UN.
Ujian nasional telah menyisakan banyak permasalahan. Mulai dari penentuan kriteria kelulusan, kecurangan dalam pelaksanaan UN hingga bunuh diri yang dilakukan oleh siswa-siswi yang tidak lulus UN. Bahkan pelaksaanaan UN tahun ini lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya. Mulai dari kualitas lembar jawaban UN yang rendah, paket-paket soal yang tertukar dibeberapa sekolah, soal dan lembar jawaban UN yang kurang hingga kejanggalan penetapan pemenang lelang pengadaan dan distribusi bahan UN. Sehingga patut diduga terdapat permainan anggaran dalam pengadaan soal dan distribusi bahan UN. Koalisi Pendidikan yang tergabung dari Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Forum Tranparansi Untuk Anggaran (FITRA) telah melaporkan dugaan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    
 “Melawan” Putusan pengadilan
Ujian Nasional telah dilaksanakan sejak tahun 2005 sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional. Hampir setiap tahun, pemerintah menetapkan kriteria kelulusan peserta didik sehingga hampir setiap tahun siswa-siswa dan guru menjadi kelinci percobaan kebijakan pemerintah. Sebelum putusan Mahkamah Agung Nomor 2596K/PDT/2008, UN merupakan satu-satunya penentu kelulusan peserta didik. Setiap siswa-siswi harus mencapai nilai UN yang ditetapkan pemerintah untuk lulus.
Penentuan kelulusan peserta didik dari nilai UN dinilai tidak adil, objektif dan menyelesaikan masalah pendidikan secara nasional oleh berbagai pihak karena UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan peserta didik. Hal ini kemudian melatarbelakangi 58 warga Negara yang terdiri dari pemerhati, aktivitis, pendididik, dan orang tua murid dari korban ujian nasional tahun 2006 mengajukan gugatan citizen law suit (CLS) terhadap pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meninjau kembali UN.
Gugatan CLS yang diajukan oleh para penggugat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21 Mei 2007, dengan menyatakan pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak anak. Pengadilan pun memerintahkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Putusan itu diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 6 Desember 2007. Putusan itu kemudian memperoleh kekuatan hukum tetap pada tanggal 14 September 2009 setelah Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi pemerintah.
Namun ironisnya, pemerintah tidak tunduk terhadap putusan pengadilan tersebut. Pemerintah tetap menyelenggarakan UN setelah putusan Mahkamah Agung. Bahkan, untuk mensiasati agar UN tetap dilaksanakan, melalui Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010, kriteria kelulusan peserta didik diubah dimana UN tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan melainkan dengan menggabungkan nilai sekolah dan UN. Sikap pemerintah ini jelas secara tidak langsung “ melawan “ putusan pengadilan. Padahal secara implisit, putusan pengadilan melarang UN dilaksanakan sampai adanya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan data Kemendiknas tahun 2010  lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. Bahkan menurut Education For All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia dari 127 negara, Education Development index(EDI)Indonesia berapa di peringkat ke 69 dan pada tahun 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 negara. Sehingga, seyogyanya pemerintah tidak dibenarkan menyelenggarakan UN disaat kualitas pendidikan Indonesia masih memprihatinkan.
Perlukah Ujian Nasional ?
Beberapa tahun terakhir, persiapan UN telah menimbulkan ketakutan dan tekanan psikologis luar biasa dikalangan siswa-siswi, guru bahkan orang tua karena proses belajar mengajar di bangku pendidikan selama tiga tahun ditentukan dengan tiga hari atau empat hari. Tahun akhir disekolah yang seyogyanya untuk memperdalam seluruh mata pelajaran justru difokuskan untuk mempejari pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Berbagai upaya dilakukan orang tua dan guru agar anak dan anak didiknya lulus UN seperti menambah jam pelajaran sekolah untuk mengerjakan latihan-latihan soal dan mengikuti bimbingan belajar diluar sekolah. Hampir selama setahun, siswa-siswi dipaksakan belajar diluar batas kemampuan untuk mencapai target.
Ironisnya, dalam pelaksanaan UN, nilai-nilai moral yang diajarkan disekolah dikalahkan oleh ketakukan tersebut. Nilai-nilai kejujuran yang ditanamkan kepada siswa-siswi terkikis oleh “budaya” mencontek. Bahkan sebahagian guru-guru dan pengawas ujian secara terpaksa membiarkan (red-membenarkan) perilaku buruk tersebut.
Persoalan-persoalan UN tidak berhenti sampai disitu. Banyak kasus-kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri yang dilakukan karena merasa malu kepada keluarga, guru dan teman karena tidak lulus UN. Ternyata UN tidak hanya merampas proses belajar mengajar selama tiga tahun, tetapi UN dapat menjadi “malaikat” yang sewaktu-waktu bisa merampas nyawa generasi penerus bangsa
 Melihat dampak negatif dari UN, timbul pertanyaan, masih perlukah UN sebagai penentu kelulusan peserta didik?. Seharusnya UN tidak perlu dijadikan sebagai salah satu penentuan kelulusan melainkan sebagai evaluasi pemerintah dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia sedangkan penentuan kelulusan peserta didik lebih baik diserahkan kepada sekolah dalam rapat dewan / majelis guru karena guru-guru lebih tahu prestasi anak didiknya disekolah. Namun pemerintah sepertinya sudah terlanjur “malu” untuk mencabut kebijakan yang telah ditetapkannya apalagi setelah dikalahkan oleh putusan pengadilan.
Meskipun demikian, pemerintah semestinya harus sadar bahwa kekacauan pelaksanaan UN tahun 2013 merupakan peringatan terakhir bagi pemerintah untuk meninjau kembali UN. Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Tetapi, jika kedepan pemerintah tetap mempertahankan UN sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik, berarti pemerintah sedang memasang bom waktu dalam dunia pendidikan untuk merampas masa depan generasi penerus bangsa.

Tidak ada komentar: