Pemerhati Hukum, HAM
dan Pendidikan
Pelaksanaan UN SMA dan SMP 2013
telah usai. Namun, niat pemerintah untuk memperbaiki karut marut ujian nasional
(UN) tahun sebelumnya justru menimbulkan kekacauan luar biasa. Untuk pertama
kali dalam sejarah pendidikan Indonesia pelaksaan UN ditunda di 11 provinsi.
Penundaan UN tidak hanya menampar wajah pendidikan Indonesia tetapi menandakan
kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Keterlambatan UN di 11
provinsi di Indonesia merupakan akumulasi dari kegagalan pemerintah dalam
pelaksanaan (red- pemaksaan) UN.
Ujian nasional telah menyisakan
banyak permasalahan. Mulai dari penentuan kriteria kelulusan, kecurangan dalam
pelaksanaan UN hingga bunuh diri yang dilakukan oleh siswa-siswi yang tidak
lulus UN. Bahkan pelaksaanaan UN tahun ini lebih buruk dibandingkan tahun
sebelumnya. Mulai dari kualitas lembar jawaban UN yang rendah, paket-paket soal
yang tertukar dibeberapa sekolah, soal dan lembar jawaban UN yang kurang hingga
kejanggalan penetapan pemenang lelang pengadaan dan distribusi bahan UN.
Sehingga patut diduga terdapat permainan anggaran dalam pengadaan soal dan
distribusi bahan UN. Koalisi Pendidikan yang tergabung dari Indonesian Corruption
Watch (ICW) dan Forum Tranparansi Untuk Anggaran (FITRA) telah melaporkan
dugaan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Melawan” Putusan pengadilan
Ujian Nasional telah dilaksanakan
sejak tahun 2005 sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional. Hampir setiap tahun,
pemerintah menetapkan kriteria kelulusan peserta didik sehingga hampir setiap
tahun siswa-siswa dan guru menjadi kelinci percobaan kebijakan pemerintah.
Sebelum putusan Mahkamah Agung Nomor 2596K/PDT/2008, UN merupakan satu-satunya penentu
kelulusan peserta didik. Setiap siswa-siswi harus mencapai nilai UN yang
ditetapkan pemerintah untuk lulus.
Penentuan kelulusan peserta didik
dari nilai UN dinilai tidak adil, objektif dan menyelesaikan masalah pendidikan
secara nasional oleh berbagai pihak karena UN dijadikan satu-satunya penentu
kelulusan peserta didik. Hal ini kemudian melatarbelakangi 58 warga Negara yang
terdiri dari pemerhati, aktivitis, pendididik, dan orang tua murid dari korban
ujian nasional tahun 2006 mengajukan gugatan citizen law suit (CLS) terhadap
pemerintah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meninjau kembali UN.
Gugatan CLS yang diajukan oleh
para penggugat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21 Mei 2007, dengan
menyatakan pemerintah telah lalai
dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak
anak. Pengadilan pun memerintahkan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas guru, kelengkapan sarana dan
prasarana sekolah, akses informasi
yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih
lanjut. Putusan itu diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada
tanggal 6 Desember 2007. Putusan itu kemudian memperoleh kekuatan hukum tetap
pada tanggal 14 September 2009 setelah
Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi pemerintah.
Namun ironisnya, pemerintah tidak
tunduk terhadap putusan pengadilan tersebut. Pemerintah tetap menyelenggarakan
UN setelah putusan Mahkamah Agung. Bahkan, untuk mensiasati agar UN tetap
dilaksanakan, melalui Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010, kriteria kelulusan
peserta didik diubah dimana UN tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan
melainkan dengan menggabungkan nilai sekolah dan UN. Sikap pemerintah ini jelas
secara tidak langsung “ melawan “ putusan pengadilan. Padahal secara implisit,
putusan pengadilan melarang UN dilaksanakan sampai adanya peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan data Kemendiknas
tahun 2010 lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan
sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih
dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19%
bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. Bahkan menurut Education For
All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan
berisi hasil pemantauan pendidikan dunia dari 127 negara, Education Development
index(EDI)Indonesia berapa di peringkat ke 69 dan pada tahun 2012, Indonesia
berada di peringkat ke-64 dari 120 negara. Sehingga, seyogyanya pemerintah
tidak dibenarkan menyelenggarakan UN disaat kualitas pendidikan Indonesia masih
memprihatinkan.
Perlukah Ujian Nasional ?
Beberapa tahun terakhir,
persiapan UN telah menimbulkan ketakutan dan tekanan psikologis luar biasa
dikalangan siswa-siswi, guru bahkan orang tua karena proses belajar mengajar di
bangku pendidikan selama tiga tahun ditentukan dengan tiga hari atau empat
hari. Tahun akhir disekolah yang seyogyanya untuk memperdalam seluruh mata
pelajaran justru difokuskan untuk mempejari pelajaran yang diujikan dalam ujian
nasional. Berbagai upaya dilakukan orang tua dan guru agar anak dan anak
didiknya lulus UN seperti menambah jam pelajaran sekolah untuk mengerjakan
latihan-latihan soal dan mengikuti bimbingan belajar diluar sekolah. Hampir
selama setahun, siswa-siswi dipaksakan belajar diluar batas kemampuan untuk
mencapai target.
Ironisnya, dalam pelaksanaan UN,
nilai-nilai moral yang diajarkan disekolah dikalahkan oleh ketakukan tersebut.
Nilai-nilai kejujuran yang ditanamkan kepada siswa-siswi terkikis oleh “budaya”
mencontek. Bahkan sebahagian guru-guru dan pengawas ujian secara terpaksa
membiarkan (red-membenarkan) perilaku buruk tersebut.
Persoalan-persoalan UN tidak
berhenti sampai disitu. Banyak kasus-kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri
yang dilakukan karena merasa malu kepada keluarga, guru dan teman karena tidak
lulus UN. Ternyata UN tidak hanya merampas proses belajar mengajar selama tiga
tahun, tetapi UN dapat menjadi “malaikat” yang sewaktu-waktu bisa merampas
nyawa generasi penerus bangsa
Melihat dampak negatif dari UN, timbul
pertanyaan, masih perlukah UN sebagai penentu kelulusan peserta didik?.
Seharusnya UN tidak perlu dijadikan sebagai salah satu penentuan kelulusan
melainkan sebagai evaluasi pemerintah dalam meningkatkan pendidikan di
Indonesia sedangkan penentuan kelulusan peserta didik lebih baik diserahkan
kepada sekolah dalam rapat dewan / majelis guru karena guru-guru lebih tahu
prestasi anak didiknya disekolah. Namun pemerintah sepertinya sudah terlanjur
“malu” untuk mencabut kebijakan yang telah ditetapkannya apalagi setelah
dikalahkan oleh putusan pengadilan.
Meskipun
demikian, pemerintah semestinya harus sadar bahwa kekacauan pelaksanaan UN
tahun 2013 merupakan peringatan terakhir bagi pemerintah untuk meninjau kembali
UN. Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah untuk memperbaiki kesalahan yang
terjadi demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Tetapi, jika kedepan pemerintah
tetap mempertahankan UN sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik,
berarti pemerintah sedang memasang bom waktu dalam dunia pendidikan untuk
merampas masa depan generasi penerus bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar