Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA
Ibarat drama
serial, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM mempertontokan episode per
episode yang disaksikan ratusan juta rakyat di tanah air. Mulai dari usulan
kenaikan BBM oleh pemerintah sampai kepada Sidang Paripurna DPR (30-31/3/2012).
Episode pun akan berlanjut ke Mahkamah Konstitusi terkait judicial
review Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012.
Episode dimulai
dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Kenaikan minyak
mentah dunia menjadi alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Jika harga
enceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan maka defisit keuangan negara
akan membengkak. Negara harus melakukan penghematan anggaran dengan mengurangi
subsidi BBM seiring kenaikan minyak mentah dunia.
Pendapat
pemerintah juga diperkuat dengan alasan pemakaian BBM bersubsidi selama ini
tidak tepat sasaran. Sehingga lebih baik jika subsidi BBM dialihkan ke dalam
bentuk lain. Untuk mengatasi kenaikan kebutuhan pokok dan ongkos transportasi
sebagai dampak kenaikkan BBM, pemerintah akan memberikan BLSM kepada masyarakat
miskin, bantuan beasiswa pendidikan dan bantuan operasional transportasi umum.
Namun, apakah alasan pemerintah masuk akal?.
Kebohongan
Pemerintah
Berdasarkan kajian Indonesia
Corruption Watch (ICW) ditemukan ketidakwajaran dalam perhitungan subsidi BBM
yang dilakukan pemerintah sebagai basic argument untuk menaikkan harga BBM.
Berdasarkan harga patokan MOPS (Mean Oil Platt Singapore) yang didapat dari
publikasi harga rata-rata tahun sebelumnya, jika harga BBM premium dan solar tidak
naik, total beban subsidi BBM dan LPG adalah sebesar Rp 148,034. Sedangkan penghitungan pemerintah mencapai Rp
178 triliun.
Jika BBM premium dan solar dinaikkan
menjadi Rp 6.000 per liter, total subsidi pemerintah hanya sebesar Rp 68,104
triliun. Sedangkan
pemerintah menghitung beban subsidi menjadi Rp
111,74 triliun. Bahkan beberapa kajian lain menunjukkan pemerintah tidak
mengeluarkan sedikitpun subsidi BBM karena pendapatan negara dari Migas lebih
besar dibandingkan subsisi BBM. Lalu mengapa subsidi BBM dijadikan kambing
hitam defisit keuangan negara?. Bisa
jadi, kebijakan ini sebagai “akal-akalan” untuk menutupi utang negara yang terus membengkak selama 7 tahun
pemerintahan SBY.
Jika subsidi
BBM sebagai alasan defisit keuangan negara maka pemerintah ibarat kura-kura
dalam perahu. Pemerintah pura-pura tidak tau dengan kesalahan sendiri. Mengapa
demikian?. Defisit keuangan negara secara riil lebih dikarenakan pemborosan
pemerintah dalam menggunakan anggaran. Belum ditambah dengan perampokan uang
negara secara besar-besaran oleh koruptor. Persoalan seperti inilah seyogyanya
diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah harus melakukan penghematan di
berbagai lini/pos penggunaan APBN dan serius melakukan pemberantasan korupsi
untuk mengembalikan keuangan negara. Sehingga defisit keuangan neraga dapat
dikurangi tanpa menaikkan harga BBM.
Wajar apabila
kemudian kebohongan pemerintah memicu episode demonstrasi di negeri ini. Mulai
dari mahasiswa, LSM, petani, nelayan, buruh hingga kepala daerah turun ke jalan
menentang kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM dinilai akan menambah penderitaan
rakyat. Program BLSM, bantuan beasiswa pendidikan dan bantuan operasional
transportasi umum tidak akan menjamin kesehjateraan rakyat Selama beberapa hari
demo, ruas jalan dipenuhi oleh parlemen jalanan sebagai bentuk kekecewaan
terhadap kebijakan pemerintah. Bentorokan antara massa dan polisi pun tak dapat
terelakkan.
Menurut catatan IPW, selama 4 hari demo
menolak kebijakan kenaikan BBM, 523 orang luka-luka, 210 polisi luka-luka, dan
750 orang ditangkap. Disamping itu, 16 Kantor Polisi dirusak dan 4 mobil
patroli dibakar. Salahkah para demonstran?. Jika pemerintah dari awal
berhati-hati dalam menerapkan kebijakan maka episode demonstrasi tak akan
terjadi. Demo kenaikkan BBM dapat dikatakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap
kebijakan pemerintah.
Ke(tidak)naikan BBM
Sidang
Paripurna merupakan episode paling ditunggu.
Nasib ratusan juta rakyat Indonesi ditentukan oleh 560 anggota DPR. Setelah
mengalami perdebtan alot, akhirnya sidang paripurna memenangkan opsi kedua
dengan penambahan Pasal 7 Ayat 6a dalam UU APBN-P 2012. Penambahan Pasal 7 Ayat
6a disetujui lebih dari 65% anggota DPR yang terdiri dari Fraksi Demokrat,
Golkar, PAN, PKB, dan PPP. Kenaikan BBM didukung oleh partai koalisi minus PKS.
Sedangkan 15% anggota DPR terdiri dari Fraksi PKS dan Gerindra memilih opsi
kedua tanpa penambahan Pasal 7 Ayat 6a. Sementara itu, 17% anggota DPR terdiri
dari Fraksi PDI-P dan Hanura memilih Walk Out. Hal ini berbanding terbalik
dengan mayoritas suara rakyat yang menolak kenaikan BBM.
Meminjam
pendapat Yusril Ihza Mahendra, Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 memberi tiket
kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Pemerintah bisa menyesuaikan harga
BBM jika rata-rata minyak mentah di Indonesia
(ICP) naik atau turun hinga lebih dari 15% dalam waktu 6 bulan. Menurut
pelaku pasar, ICP 15% akan terjadi pada bulan Juli. Sehingga dapat disimpulkan,
DPR tidak menolak kenaikkan BBM tetapi menunda kenaikan BBM.
Pasal
7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 harus dibatalkan karena secara materiil bertentangan
dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sampai kapan rakyat akan menunggu ketidakpastian kenaikan BBM. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28H
Ayat 1 UUD 1945, dimana setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir batin. Ketidaknaikan BBM pada 1 April tidak
diiringi dengan penrunan harga kebutuhan pokok. Pelaku pasar masih menunggu
kepastian antara naik atau tidak BBM. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal
33. Secara formil pembentukkan Pasal 7 Ayat
6a betentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata
cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Judicial Review merupakan satu-satunya jalan untuk
membatalkan Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 sebagai produk hukum DPR yang tidak
berpihak kepada rakyat. Kini sejumlah pemohon telah mendaftarkan permohonan judicial review Pasal 7 Ayat 6a UU
APBN-P 2012 ke Mahkamah Konstitusi.
Judicial review merupakan
episode penentu dari polemik kenaikan harga BBM. Jika Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan para pemohon maka harga enceran BBM subsidi tidak akan
mengalami kenaikkan. Namun, jika Mahkamah Konstitusi menolak maka kemungkinan
harga enceran BBM subsisi naik pada bulan Juli akan terwujud. Jika benar-benar
kita merasa kenaikkan harga BBM menambah penderitaan rakyat mari kita dukung judicial review Pasal 7 Ayat 6a UU
APBN-P 2012. Sehingga drama ini serial ditutup dengan episode kesejahteraan
rakyat bukan episode kesengsaraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar