15 April 2012

Episode Ke(tidak)naikan BBM

Oleh : Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FHUA
Ibarat drama serial, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM mempertontokan episode per episode yang disaksikan ratusan juta rakyat di tanah air. Mulai dari usulan kenaikan BBM oleh pemerintah sampai kepada Sidang Paripurna DPR (30-31/3/2012). Episode pun akan berlanjut ke Mahkamah Konstitusi terkait  judicial review Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012.
Episode dimulai dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Kenaikan minyak mentah dunia menjadi alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Jika harga enceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan maka defisit keuangan negara akan membengkak. Negara harus melakukan penghematan anggaran dengan mengurangi subsidi BBM seiring kenaikan minyak mentah dunia.
Pendapat pemerintah juga diperkuat dengan alasan pemakaian BBM bersubsidi selama ini tidak tepat sasaran. Sehingga lebih baik jika subsidi BBM dialihkan ke dalam bentuk lain. Untuk mengatasi kenaikan kebutuhan pokok dan ongkos transportasi sebagai dampak kenaikkan BBM, pemerintah akan memberikan BLSM kepada masyarakat miskin, bantuan beasiswa pendidikan dan bantuan operasional transportasi umum. Namun, apakah alasan pemerintah masuk akal?.

 Kebohongan Pemerintah
Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) ditemukan ketidakwajaran dalam perhitungan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah sebagai basic argument untuk menaikkan harga BBM. Berdasarkan harga patokan MOPS (Mean Oil Platt Singapore) yang didapat dari publikasi harga rata-rata tahun sebelumnya, jika harga BBM premium dan solar tidak naik, total beban subsidi BBM dan LPG adalah sebesar Rp 148,034. Sedangkan penghitungan pemerintah mencapai Rp 178 triliun.
Jika BBM premium dan solar dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter, total subsidi pemerintah hanya sebesar Rp 68,104 triliun. Sedangkan pemerintah menghitung  beban subsidi menjadi Rp 111,74 triliun. Bahkan beberapa kajian lain menunjukkan pemerintah tidak mengeluarkan sedikitpun subsidi BBM karena pendapatan negara dari Migas lebih besar dibandingkan subsisi BBM. Lalu mengapa subsidi BBM dijadikan kambing hitam  defisit keuangan negara?. Bisa jadi, kebijakan ini sebagai “akal-akalan” untuk menutupi utang  negara yang terus membengkak selama 7 tahun pemerintahan SBY.
Jika subsidi BBM sebagai alasan defisit keuangan negara maka pemerintah ibarat kura-kura dalam perahu. Pemerintah pura-pura tidak tau dengan kesalahan sendiri. Mengapa demikian?. Defisit keuangan negara secara riil lebih dikarenakan pemborosan pemerintah dalam menggunakan anggaran. Belum ditambah dengan perampokan uang negara secara besar-besaran oleh koruptor. Persoalan seperti inilah seyogyanya diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah harus melakukan penghematan di berbagai lini/pos penggunaan APBN dan serius melakukan pemberantasan korupsi untuk mengembalikan keuangan negara. Sehingga defisit keuangan neraga dapat dikurangi tanpa menaikkan harga BBM.
Wajar apabila kemudian kebohongan pemerintah memicu episode demonstrasi di negeri ini. Mulai dari mahasiswa, LSM, petani, nelayan, buruh hingga kepala daerah turun ke jalan menentang kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM dinilai akan menambah penderitaan rakyat. Program BLSM, bantuan beasiswa pendidikan dan bantuan operasional transportasi umum tidak akan menjamin kesehjateraan rakyat Selama beberapa hari demo, ruas jalan dipenuhi oleh parlemen jalanan sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah. Bentorokan antara massa dan polisi pun tak dapat terelakkan.
 Menurut catatan IPW, selama 4 hari demo menolak kebijakan kenaikan BBM, 523 orang luka-luka, 210 polisi luka-luka, dan 750 orang ditangkap. Disamping itu, 16 Kantor Polisi dirusak dan 4 mobil patroli dibakar. Salahkah para demonstran?. Jika pemerintah dari awal berhati-hati dalam menerapkan kebijakan maka episode demonstrasi tak akan terjadi. Demo kenaikkan BBM dapat dikatakan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah.
Ke(tidak)naikan BBM
Sidang Paripurna merupakan episode paling ditunggu. Nasib ratusan juta rakyat Indonesi ditentukan oleh 560 anggota DPR. Setelah mengalami perdebtan alot, akhirnya sidang paripurna memenangkan opsi kedua dengan penambahan Pasal 7 Ayat 6a dalam UU APBN-P 2012. Penambahan Pasal 7 Ayat 6a disetujui lebih dari 65% anggota DPR yang terdiri dari Fraksi Demokrat, Golkar, PAN, PKB, dan PPP. Kenaikan BBM didukung oleh partai koalisi minus PKS. Sedangkan 15% anggota DPR terdiri dari Fraksi PKS dan Gerindra memilih opsi kedua tanpa penambahan Pasal 7 Ayat 6a. Sementara itu, 17% anggota DPR terdiri dari Fraksi PDI-P dan Hanura memilih Walk Out. Hal ini berbanding terbalik dengan mayoritas suara rakyat yang menolak kenaikan BBM.
Meminjam pendapat Yusril Ihza Mahendra, Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 memberi tiket kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Pemerintah bisa menyesuaikan harga BBM jika rata-rata minyak mentah di Indonesia  (ICP) naik atau turun hinga lebih dari 15% dalam waktu 6 bulan. Menurut pelaku pasar, ICP 15% akan terjadi pada bulan Juli. Sehingga dapat disimpulkan, DPR tidak menolak kenaikkan BBM tetapi menunda kenaikan BBM.
            Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 harus dibatalkan karena secara materiil bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Sampai kapan rakyat akan menunggu ketidakpastian kenaikan BBM.  Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945, dimana  setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin. Ketidaknaikan BBM pada 1 April tidak diiringi dengan penrunan harga kebutuhan pokok. Pelaku pasar masih menunggu kepastian antara naik atau tidak BBM. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 33. Secara formil pembentukkan Pasal 7 Ayat 6a betentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Judicial Review merupakan satu-satunya jalan untuk membatalkan Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 sebagai produk hukum DPR yang tidak berpihak kepada rakyat. Kini sejumlah pemohon telah mendaftarkan permohonan judicial review Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012 ke Mahkamah Konstitusi.
Judicial review merupakan episode penentu dari polemik kenaikan harga BBM. Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon maka harga enceran BBM subsidi tidak akan mengalami kenaikkan. Namun, jika Mahkamah Konstitusi menolak maka kemungkinan harga enceran BBM subsisi naik pada bulan Juli akan terwujud. Jika benar-benar kita merasa kenaikkan harga BBM menambah penderitaan rakyat mari kita dukung judicial review Pasal 7 Ayat 6a UU APBN-P 2012. Sehingga drama ini serial ditutup dengan episode kesejahteraan rakyat bukan episode kesengsaraan rakyat.


Tidak ada komentar: