Oleh: Sabri Hamri
Pemerhati Pendidikan
Menarik ketika membaca dua tulisan yang dimuat
oleh harian ini. Pertama, tulisan yang berjudul “ Unand Terapkan Sistem Sapu
Bersih” oleh Depitriadi, Opini 8/2/2012 dan kedua tulisan yang berjudul Eksekusi
DO-Rektor Unand” oleh Nanda Oetama, Teras Utama s16/2/2012. Tulisan yang emberikan tanda tanya
besar mengenai persoalan DO di Universitas Andalas. Apakah yang sebenarnya
sedang terjadi?. Apakah DO sebuah keputusan yang tepat atau sebaliknya?
Dalam tulisannya Depitriadi memberikan penilaian
DO merupakan kelemahan sisi
birokrat kampus, dampak negatif sistem pendidikan berbasis teknologi (ICT), dan
indikasi faktor pencitraan untuk menjadi world class
university. Depitriadi berkesimpulan bahwa tindakan penjatuhan sanksi kepada ratusan
mahasiswa dinilai memang di luar kewajaran.
Sedangkan Nanda Oetama mengkaji
lebih dalam peraturan yang ada. Menurut Nanda Oetama, penjatuhan DO merupakan
kebijakan rektor dalam menegakkan aturan. Pada sisi
lain, kita berteriak bahwa negara ini adalah negara hukum di mana setiap warga
negara harus taat hukum. Dari optik yuridis, jika rektor tidak melakukan
eksekusi, rektor tidak benar karena tidak mengikuti amanat undang-undang.
Lalu siapa yang salah dan siapa pula
yang benar ?. Unand, Mahasiswa atau murni kegagalan dari sistem pendidikan di
Indonesia. Karena akhir-akhir ini makna luhur dari pendidikan terabaikan.
Pendidikan disulap dari institusi moral menjadi ladang bisnis menggiurkan.
Komersialisasi dan privatisasi pendidikan, cara baru mengeruk keuntungan.
World Class University
Setiap perguruan tinggi memang dituntut untuk mecetak mahasiswa
berkualitas. Dengan nilai IPK selalu menjadi tolak ukur bagi perguruan tinggi
untuk mengukur kualitas mahasiswa. Sehingga mahasiswa yang “tidak mampu”
mencapai nilai dan SKS yang ditetapkan
harus di DO demi mempertahankan kualitas perguruan tinggi. Mungkin hal ini pula
yang sedang terjadi di Unand.
Namun sungguh tidak adil jika
meletakkan kesalahan kepada mahasiswa. Jika mau jujur kegagalan mahasiswa memenuhi target merupakan kegagalan kampus dalam
menerapkan sistem pendidikan yang
baik. Kampus
terlalu berambisi mengejar target sebagai world classs university.
Berlomba-lomba membangun kampus yang megah tetapi melupakan mutu pendidikan
didalam yang sangat buruk.Dalam bahasa Minang: Elok dilua, buruak didalam.
Pernahkah kampus mengevaluasi kinerja dosen dan
pegawai?. Dosen yang sering malas mengajar. Menentukan jadwal kuliah pengganti
sesuka hati dosen atau pratikum di dalam jadwal kuliah. Cara mengajar yang
membosankan karena masih menerapkan sistem catat buku sampai habis (CSBH). Tak lebih dari isi buku yang ditransfer kepada
mahasiswa. Sehingga mahasiswa jarang mendapatkan gagasan atau ilmu baru dari
sang dosen. Jarang masuk kuliah. Tetapi ketika masuk mengambil absen lebih dari
satu. Padahal kehadiran minimal 75% mahasiswa menenentukan dalam mengikuti
ujian semester. Sedangkan ujian semester salah satu syarat memperoleh nilai.
Birokrasipun demikian. Selalu rumit dan
bertele-tele. Opor sana dan opor sini. Pelayanan hampir buruk disana sini.
Menerapkan sistem informasi akademik online namun sulit diakses. Pegawai biro
atau bagian ibarat raja kecil yang berkuasa. Memperlakukan mahasiswa sekehendak
hati bukan melayani mahasiswa setulus hati. Kadang-kadang datang lambat dan
pulang cepat. Jika jam istirahat mahasiswa harus menunggu lama. Inikah calon
world class university?
Menurut Webometrics
pada Januari 2012, Universitas Andalas berada di peringkat 2748 universitas
di dunia dan peringkat 38 universitas di Indonesia. Peringkat Unand masih
dibawah Universitas Sriwijaya, Universitas Sumatera Utara dan Universitas
Lampung. Bahkan Universitas Sriwijaya mampu menembus peringkat 1323 universitas
di dunia dan peringkat 10 universitas di
Indonesia. Padahal dulu Unand peringkat kedua dibawah USU untuk Pulau Sumatera.
Hakikat
Nilai
Pemberlakuan DO kepada mahasiswa
secara tidak langsung Unand telah menanmbah angka putus sekolah. Proses pindah
yang ditawarkan Unand belumlah tentu dapat diterima oleh setiap mahasiswa.
Dengan pelbagai alasan, proses pindah perguruan tinggi bukan proses yang mudah.
Tahun ajaran berada di semester genap dan biaya besar harus dikeluarkan.
Jika mahasiswa DO berasal dari kalangan tidak
mampu tentu sebuah pilihan berat. Putus kuliah adalah satu-satunya jalan yang
harus ditempuh. Bisa saja selama ini mahasiswa bersangkutan harus membagi waktu
untuk kuliah dan pekerjaan demi membiayai kuliah sehingga tidak maksimal dalam
memperoleh nilai. Akhirnya cita- cita untuk meraih gelar sarjana harus kandas
ditengah jalan. Inikah keadilan pendidikan bagi orang miskin?.
Mengapa
nilai IPK selalu menjadi tolak ukur. Pendidikan bukan hanya proses meraih IPK
tertinggi melainkan proses memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan membentuk
karakter seorang manusia agar berguna bagi bangsa dan negara. Nilai IPK hanya
sebahagian kecil dari nilai yang sebenarnya yaitu nilai kemanusian yang harus
ditanamkan dalam dunia pendidikan. Nilai yang tak bisa dikalkulasikan dengan
angka-angka. Agar kelak mahasiswa peduli dengan kehidupan sekitarnya. Bukan
menjadi apatis dan hedonisme.
Pada
hakikatnya tidak ada seorang pun terlahir dengan bodoh. Begitupun mahasiswa
Unand. Toh, calon mahasiswa DO yang diterima dikampus telah menyisihkan ribuan
pesaing lain. Secara logika mereka memiliki kemampuan diatas rata-rata. Namun,
mengapa mereka bisa gagal ditengah jalan?. Karena Unand belum mampu menerapkan
sistem pendidikan yang baik.
Jika
satu orang mahasiwa gagal dan di DO, maka itu adalah kebodohan masiswa
tersebut, tetapi jika ratusan mahasiswa di DO, maka itu adalah kegagalan Unand.
Jangan penegakkan aturan dijadikan alasan untuk menutupi sebuah kegagalan. Semoga
kedepan Unand mampu mengevaluasi diri dan mampu menjadi lebih baik demi
kejayaan bangsa.