Oleh: Sabri Hamri
Peneliti
Pusat Studi Konstitusi FHUA
Saat era reformasi bergulir, ada
enam tuntutan yang harus dikerjakan.
Tuntutan untuk mengembalikan
Indonesia kepada jalur yang
“benar”. Setelah terkekang sekian lama dalam kurungan rezim orde baru. Salah satu tunutan reformasi tersebut yakni pemberantasan
korupsi.
Bahkan sampai hari ini tuntutan itu masih terus bergulir.
Walaupun segala upaya telah dilakukan untuk
memberantas korupsi termasuk mendirikan Komisi Pemberntasan Korupsi sebagai
“kekecewaan” terhadap peran lembaga kepolisian dan kejaksaan. Namun upaya-upaya
yang dilakukan tak membuahkan hasil memuaskan. Korupsi tetap tumbuh subur di
negeri ini.
Meskipun sudah banyak pelaku korupsi
(koruptor) yang dihukum tetapi tidak memberi efek jera. Hampir setiap saat
kasus korupsi terungkap. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah untuk didengar. Mulai
dari Anggota Dewan, Menteri, Kepala Daearah, Hakim, Jaksa, Pengacara tak luput
dari hukuman. Benarkah korupsi sudah
“membudaya”?.
Besar atau kecil uang negara yang
dirampok oleh koruptor tetap tidak dapat dimaafkan. Korupsi telah memumupuskan
tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat. Korupsi salah satu penyebab negara
ini masih terbelenggu oleh kemiskinan. Uang negara yang seharusnya digunakan
untuk kepentingan rakyat hilang dirampok begitu saja oleh para koruptor.
Sehingga sungguh ironis ketika para koruptor dibiarkan lolos atau bebas begitu
saja dari jeratan hukum.