04 Januari 2011

Pendidikan,HAM yang Terabaikan

Oleh: Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Fakultas Hukum Unand
Anggota Forum Peduli Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia. Konstitusipun telah menjamin hak setiap warga negara untuk meperoleh pendidikan tanpa terkecuali. Tanpa memandang kelas sosial di dalam masyarakat. Artinya baik golongan miskin maupun kaya berhak mendapatkan pendidikan.Namun kenyataan yang terjadi, tidak semua anak negeri yang dapat mengenyam bangku pendidikan tersebut. Masih banyaknya anak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah sama sekali menjadi salah satu bukti nyata buat kita semua.
Kalau dilihat lebih jauh , pada prinsipnya hak asasi manusia didalamnya terkandung prinsip kesetaraan, prinsip pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap Negara . Prinsip-prinsip inipun juga ada dalam pemenuhan pendidikan. Dimana pemenuhan pendidikan tidak boleh diskriminatif. Selain itu Negara mempunyai kewajiban untuk membiayai pendidikan dasar dan tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masih segar dalam ingatan kita ketika UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) di berlakukan pada tahun 2009. Ketika itu pula timbul pro dan kontra. Sikap pro banyak di dukung oleh perguruan tinggi ternama di Indonesia. Sebaliknya sikap konrta dibangun oleh lapisan masyarakat hingga mahasiswa. UU BHP telah dianggap memainkan peran sentral dalam mengkomersialisasikan (jualbeli) dunia pendidikan. Dalam konsep UU BHP, pendidikan dapat melakukan investasi. Seperti perusahaan, bisnis tersebut dapat berkembang dan dapat pula mengalami kepailitan. UU BHP cukup menggambarakan kepada kita bahwa negara ingin melepaskan tanggungjawabnya membiayai pendidikan. Tanggungjawab jawab tersebut perlahan-lahan diserahkan kepada pembeli saham pendidikan.
Dalam putusan uji materi UU BHP, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut karena bertentangangan dengan UUD 1945. Putusan MK tersebut pun disambut baik oleh masyarakat. Karena UU BHP tidak hanya mengkomersialisasikan pendidikan tetapi juga memprivatisasi pendidikan. Sehingga pendidikan akan menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat terutama masyarakat tidak mampu.
Selanjutnya selang beberapa bulan dari putusan MK tersebut. Masyarakat kembali dikejutkan dengan keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah yang menetapkan harga mahal bagi siswanya. Tak tanggung-tanggung uang masuk sekolah ini berkisar antara 5 juta sampai belasan jutaan rupiah. Jumlah yang tentunya tak sedikit bagi siswa berprestasi tetapi berasal dari kalangan tidak mampu. Dalam hal ini telah terjadi kastanisasi dalam pendidikan. Pendidikan dibagi dalam kelas-kelas yang berbeda. Ada kelas untuk si kaya dan ada pula kelas untuk si miskin. Padahal sebenarnya, sekolah standar internasional yang termaktub dalam UU Sisdiknas lebih diarahkan kepada untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia agar sejajar dengan Negara lainnya . Bukan untuk mencari keuntungan. Atau mengkelaskan suatu sekolah. Hal inilah yang dinamakan dengan kastanisasi pendidikan.
Begitu juga akses masuk perguruan tinggi bagi orang tidak mampu mulai dipersempit. Telalu banyaknya jalur khusus dengan biaya mahal.Tentunya hal ini sulit dijangkau oleh masyarakat tidak mampu. Jelas dalam hal ini telah terjadi diskriminasi pendidikan yang merupakan pelanggaran HAM . Hal ini seperti mengingatkan kita kembali disaat bangsa Belanda memberikan kelas berbeda terhadap anak-anak pribumi dengan golongan eropa dan asia timur. Pada saat itu Pribumi hanya menempati kelas paling bawah. Tapi setelas lepas dari belenggu Belanda kenapa kelas-kelas tersebut kembali hadir.
Tidak cukup sampai disitu, permasalahan sistem ujian nasional masih menjadi permasalahan besar bangsa ini. Tidak sedikit akibat yang ditimbulkan. Selama ini, UN hanya meberikan beban psikologis bagi siswa bahkan guru sekaligus. Segala cara “dihalalkan” untuk meraih hasil terbaik. Termasuk “membudayakan” mencontek dalam ujian. Begitu besar kesalahan yang dilakukan oleh pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Padahal kesejahteraan mereka selalu terabaikan. Tak jarang tekanan begitu berat yang diberikan kepada mereka untuk meraih hasil terbaik. Mereka seharusnya lebih focus untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak didiknya. Hal ini tentunya akan menghilangkan nilai-nilai luhur dari tujuan Negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa . Bagi siswa tentunya akan mendapatkan beban yang lebih berat lagi. Mereka akan melakukan segala upaya meraih kelulusan. Karena usaha mereka selama 3 tahun harus ditentukan oleh 3 sampai 5 hari. Adilkah demikian?. Tentunya tidak. Salah satu akibat yang ditimbulkan oleh UN yaitu banyaknya siswa yang depresi bahkan bunuh diri karena tidak lulus UN.
Contoh-contoh diatas hanya sebahagian kecil dari permasalahn pendidikan di Indonesia. Belum ditambah dengan permasalahan yang terjadi di daerah-daerah. Jumlah anak yang tidak sekolah. Jumlah anak yang putus sekolah. Banyak anak-anak yang terpaksa harus memilih menjadi pengamen atau penjual koran daripada duduk dibangku pendidikan. Kenapa demikian?. Jawabannya hanya satu. Pendidikan mahal.
Lahirnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, sedikit membawa harapan bagi masyarakat untuk mengetahui transparansi dana pendidikan. Karena selama ini dana APBN yang dianggarkan untuk pendidikan tidak jelas kemana muaranya. Apakah dana tersebut tepat sasaran atau tidak. Atau hanya terbuang sia-sia tanpa ada manfaatnya. Ironis lagi dana tersebut dikorup oleh orang-orang yang bertanggung jawab. Seandainya, undang-undang ini berjalan efektif, setidaknya dana pendidikan akan dapat dimaksimalkan. Dana tersebut akan tepat sasaran penggunaannya. Sehingga pemenuhan hak masyarakat atas pendidikan, menghentikan privatisasi, pemerataan kualitas pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru dapat dilakukan.
Penulis melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan bersama oleh masyarakat dinegeri ini. Pertama, pemerintah harus memenuhi hak masyarakat atas pendidikan. Menurut seorang berkebangsaan Brazil, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Manusi akan menjadi manusia seutuhnya apabila telah memperoleh pendidikan. Artinya untuk menjadi manusia seutuhnya diperlukan pendidikan.
Kedua,masyarakat terutama mahasiswa harus “keras” dalam menyikapi privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Penolakan privatisasi dan komersialisasi adalah harga mati buat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, pemerintah harus meninjau kembali sistem ujian nasional. Menilai sejauh mana efektifitas UN di negeri ini. Fakta dilapangan menunjukkan UN hanya menimbulkan banyak permasalahan dan tak sedikit uang yang dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk menambah fasilitas sarana dan prasarana sekolah. Khususnya sekolah yang berada di pulau terpencil.
Keempat, kesejahteraan guru harus mendapat perhatian penuh. Jangan sampai ada pelanggaran HAM disini. Dimana guru hanya dijadikan “sapi perah” untuk mendidik anak negeri ini. Memang terlalu rumit masalah yang dihadapi guru. Bagaimana seorang guru akan mencurahkan perhatiannya kepada pendidikan sedangkan ekonomi keluarganya menjadi beban tersendiri buatnya. Penulis melihat sampai hari ini masih banyak guru yang hidup pas-pasan.
Kelima, kembalikan hak masyarakat atas anggaran pendidikan. Masyarakat berhak tahu kemanakah anggaran pendidikan digunakan. Apakah anggaran tersebut telah dimaksimalkan atau sebaliknya. Setidaknya masyarakat dapat menjalankan sistem kontrolnya terhadap pemerintah terkait penggunaan anggaran pendidikan.
Sebagai penutup penulis ingin mengutip pernyataan Katarina Tomasevski yang menyatakan:
“ Hak atas pendidikan adalah jembatan bagi semua hak asasi manusia. Pendidikan sangat diperlukan untuk partisipasi politik yang efektif dan untuk memungkinkan individu-individu menopang diri mereka sendiri. Pendidikan adalah kunci untuk menjaga bahasa dan agama. Adalah dasar penghapusan diskriminasi. Kunci untuk membuka hak asasi lainnya” .
Tak dapat dipungkiri pendikan adalah HAM yang harus terpenuhi. HAM sebagai anugrah Tuhan juga termaktub didalamnya hak untuk memperoleh pendidikan. Karena setiap agama mengajarkan tentang ilmu. Salah satunya, ilmu bisa didapatkan dalam bangku pendidikan. Tidakkah kita melihat negara India yang mau menutup mata untuk kemiskinan demi pendidikan. Mereka percaya dengan pendidikan negara India akan menjadi besar kedepan. Negara kita boleh bangga dengan perestasi kita meraih emas dalam olimpiade pendidikan. Tapi perlu diingat, prestasi tersebut tidak akan berharga jika dibandingkan masih banyaknya anak di negeri ini yang tidak bersekolah.

Tidak ada komentar: