18 November 2010

Ketidakadilan Hukum di Indonesia

Oleh : Sabri Hamri
Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Artinya setiap warga negara tanpa diskriminasi mempunyai kedudukan yang sama. Baik si miskin maupun si kaya tanpa membedakan SARA.
Namun, ibarat mata pisau, hukum di Indonesia hanya tajam kebawah dan tumpul keatas. Hukum hanya menyentuh masyarakat miskin. Sebaliknya, masyarakat kaya sulit tersentuh oleh hukum. Seakan-akan rasa keadilan telah hilang. Lebih lanjut, ujuan hukum untuk memberikan keadilan dan manfaat cenderung terabaikan. Sebaliknya tujuan hukum untuk memberikan kepastian hukum hanya dijadikan alasan pembenar bagi para penegak hukum. Norma hukum dijadikan pedoman baku tanpa mempertimbangkan kepentingan lainnya.
Ketidakadilan
Kasus Nenek Minah contohnya. Kasus yang cukup membuat miris kita semua. Lantaran sang nenek hanya mengambil 3 buah kakao yang tak lebih harganya dari Rp 2.000,-.. Bahkan dia sendiri tidak menyangka perbuatannya akan mengantarkan dia ke dalam penjara. Yang dia tahu norma hukum melalui keputusan hakim menjeratnya dengan hukuman 1,5 bulan kurungan dan 3 bulan masa percobaan di usia senjanya. Hal ini berbanding terbalik dengan para pejabat yang terindikasi korupsi. Mereka tak sedikitpun tersentuh oleh hukum.
Lain Nenek Minah lain pula Syaukani. Sang koruptur akhirnya menghirup udara segar setelah mendapatkan remisi presiden. Hanya alasan kondisi kesehatan yang menjadi pertimbangan presiden. Tanpa menimbang penderitaan masyarakat akibat ulah dari perbuatan Syaukani. Tentunya kejadian ini membuat keadilan masyarakat terusik. Wajar apabila masyarakat terus bertanya. Dimanakah keadilan di negeri ini . Masih adakah keadilan di negeri ini.

Pendidikan, Mimpi Yang Sulit Terwujud

(Kilas Balik Pendidikan di Indonesia)
Oleh: Sabri Hamri
Anggota Penuh LAM&PK FHUA dan Ketua Formatur Forum Peduli Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Salah satu sarana untuk memperoleh kesejahteraan. Merupakan jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi menwujudkan tujuan dari negara Indonesia. Konstitusipun telah menjamin hak setiap warga negara untuk meperoleh pendidikan tanpa terkecuali. Dahulu, ketika bangsa ini terjajah tanpa dapat merasakan pendidikan yang layak. Para tokoh bangsa sekuat tenaga memikirkan bagaimana anak negeri dapat mengenyam pendidikan. Namun, kini setelah negeri ini lepas dari pasung penjajah tersebut pendidikan tetap masih sulit didapatkan. Hal ini bukan dikarenakan tidak tersedianya pendidikan, tetapi dikarenakan oleh sulitnya menjangkau pendidikan tersebut. Bak slogan “pendidikan mahal harganya”. Pendidikan hanya dapat dijangkau dengan uang. Uang telah menjadi kunci utama untuk mendapatkan pendidikan.
Komersialisasi dan Kastanisasi
Masih segar dalam ingatan kita ketika UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) di berlakukan pada tahun 2009. Hampir jutaan orang berteriak keras. Mulai dari lapisan masyarakat hingga mahasiswa. Tak jarang diantaranya turun ke jalan menyampaikan aspirasi. Menolak keberadaan UU tersebut. UU BHP telah dianggap memainkan peran dalam mengkomersialisasikan dunia pendidikan. Dalam konsep UU BHP, pendidikan dapat melakukan investasi. Seperti bisnis menggiurkan yang menguntungkan. Dapat meraup keuntungan besar untuk kepentingan pribadi. Pendidikan bagaikan saham yang dapat diperjualbelikan. Tidak hanya sampai itu. UU BHP juga menggambarkan kepada kita bahwa negara ingin melepaskan tanggungjawabnya. Tanggungjawab untuk membiayai pendidikan. Untunglah Mahkamah Konstitusi merespon teriakan masyarakat dan mahasiswa dengan menolak UU BHP. Dalam putusannya MK memutuskan UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dicabut.