Peneliti Pusat Studi Konstitusi FHUA
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Artinya setiap warga negara tanpa diskriminasi mempunyai kedudukan yang sama. Baik si miskin maupun si kaya tanpa membedakan SARA.
Namun, ibarat mata pisau, hukum di Indonesia hanya tajam kebawah dan tumpul keatas. Hukum hanya menyentuh masyarakat miskin. Sebaliknya, masyarakat kaya sulit tersentuh oleh hukum. Seakan-akan rasa keadilan telah hilang. Lebih lanjut, ujuan hukum untuk memberikan keadilan dan manfaat cenderung terabaikan. Sebaliknya tujuan hukum untuk memberikan kepastian hukum hanya dijadikan alasan pembenar bagi para penegak hukum. Norma hukum dijadikan pedoman baku tanpa mempertimbangkan kepentingan lainnya.
Ketidakadilan
Kasus Nenek Minah contohnya. Kasus yang cukup membuat miris kita semua. Lantaran sang nenek hanya mengambil 3 buah kakao yang tak lebih harganya dari Rp 2.000,-.. Bahkan dia sendiri tidak menyangka perbuatannya akan mengantarkan dia ke dalam penjara. Yang dia tahu norma hukum melalui keputusan hakim menjeratnya dengan hukuman 1,5 bulan kurungan dan 3 bulan masa percobaan di usia senjanya. Hal ini berbanding terbalik dengan para pejabat yang terindikasi korupsi. Mereka tak sedikitpun tersentuh oleh hukum.
Lain Nenek Minah lain pula Syaukani. Sang koruptur akhirnya menghirup udara segar setelah mendapatkan remisi presiden. Hanya alasan kondisi kesehatan yang menjadi pertimbangan presiden. Tanpa menimbang penderitaan masyarakat akibat ulah dari perbuatan Syaukani. Tentunya kejadian ini membuat keadilan masyarakat terusik. Wajar apabila masyarakat terus bertanya. Dimanakah keadilan di negeri ini . Masih adakah keadilan di negeri ini.