Oleh: Sabri Hamri
Namaku Bintang. Atau lengkapnya Bintang Langit Angkasa. Nama itu pemberian ibuku. Ayah bilang ibu telah memberikan nama itu jauh sebelum aku lahir. Tepatnya saat masih di kandungan ibu. Kata ibu apabila anaknya perempuan atau laki-laki, ia akan memberikan nama Bintang Langit Angkasa buat anaknya. Ia ingin anaknya kelak seperti Bintang, Langit , atau Angkasa yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Tapi sayangnya ibu telah tiada. Ibu meninggal saat melahirkan diriku. Aku seakan bersalah terlahir di dunia ini. Kenapa aku harus lahir tanpa sedikitpun dapat melihat ibu.
Pagi ini aku bangun kesiangan. Aku terlelap tidur tadi malam karena suasana malam yang dingin akibat hujan yang beberapa hari ini tak kunjung reda. Kuraih HP yang tepat berada di sampingku. Jam menunjukkan pukul 09.00 wib. Ada 8 sms yang masuk pagi ini. Semua dari temanku yang mengirim ucapan selamat ulang tahun untukku. Aku sendiri baru ingat kini usiaku telah menginjak usia 17 tahun. Tapi sayangnya ayahku tetap tidak peduli denganku. Padahal aku berharap ayahlah orang pertama kali mengucapkan kata selamat ulang tahun itu. Terakhir kali ayah mengucapkannya adalah 1 tahun yang lalu. Saat usiaku 16 tahun. Tapi kini ayah telah berubah. Dulu ayah adalah orang yang sangat sayang padaku. Ia juga dapat menggantikan peran ibu. Namun saat ini ayah berubah 180 derajat.
Dengan langkah yang berat. Aku keluar dari kamarku. Langkahku terhenti tepat di ruang tamu. Mataku tertuju pada sebuah foto yang terpajang di ruang tamuku. Foto yang cantik dan penuh senyum. Itulah foto ibuku. Aku mengambilnya dan memeluknya erat-erat dalam pelukan tubuhku.
” Andaikan engkau masih hidup ibu” Kataku lirih.
” Aku ingin dipeluk olehmu, aku ingin dimanja olehmu, aku ingin mendengar nasihat-nasihatmu, aku ingin menceritakan tentang dirimu kepada kawan-kawanku. Tapi kenapa engkau pergi dariku. Tuhan, kenapa aku harus lahir tanpa sedikitpun dapat melihat ibu.” Aku menjerit sejadi-jadinya tanpa terasa air mataku menetes membasahi foto ibuku.
Aku mencium foto ibuku. Aku berdoa kepada Allah agar ibu mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Setelah puas akupun kembali meletakkan foto ibuku di tempat semula. Selanjutnya aku melangkah menuju kamar mandi. Kucuci mukaku dengan percikan air di kran kamar mandiku. Pipiku yang tadi basah oleh air mata kerinduanku kepada ibuku telah bersih kembali. Sebenarnya aku masih ingin menangis. Namun...
” Aku tak boleh cengeng menghadapi ini semua.” Kataku di dalam hati.
” Aku harus menjadi gadis yang tegar. Bukankah aku sudah dewasa untuk menghadapi ini semua. Bukankah masih banyak gadis-gadis lain yang lebih malang dariku.” Lanjutku
Setelah mencuci muka ,aku langsung keluar dari kamar mandi. Aku sengaja hanya mencuci muka hari ini karena aku pasti tak sanngup menahan dinginnya air pagi hari ini. Apalagi aku paling malas menghangatkan air untuk mandiku. Di rumahku yang dulu aku tak perlu lagi memikirkan air hangat untuk mandiku karena aku tinggal memutar kran air hangat di kamar mandiku. Itu dulu waktu aku dan ayah memiliki kekayaan yang lebih. Dulunya ayah adalah seorang pengusaha. Bisa dibilang ayah adalah salah satu orang terkaya di kotaku. Ayah juga adalah orang yang dermawan. Tapi sejak ayah mengenal Lestari lebih kurang 1 tahun yang lalu ayah mulai berubah. Lestar?. Dia hanya seorang wanita malam yang telah menghancurkan hidupku dan ayahku. Ayahku jatuh hati dengannya karena wajahnya mirip ibu. Lestari telah membawa ayah ke dunnia malam. Ayah sering pulang malam, sering mabuk-mabukkan. Yang jelas tidak lagi memikirkan aku. Usahanya pun yang selama ia rintis jatuh bangkrut. Mobil, rumah dan segalanya habis terjual untuk menutupi utang-utang ayah selama ini karena selalu memenuhi keinginan Lestari. Mulai dari berbelanja sampai jalan-jalan ke luar negeri. Yang lebih menyakitkan lagi Lestari hanya ingin harta ayah. Setelah ayah bangkrut. Lestari pergi meninggalkan ayah. Aku berharap dengan kejadian ini semua ayah mau menyadari kesalahannya. Tapi ternyata tidak. Sampai sekarangpun ayah tidak pernah sadar dengan apa yang ia lakukan. Aku tetap sabar menghadapi ini semua sampai akhirnya....
Langkahku kembali terhenti saat aku keluar dari kamar mandi menuju kamarku. Aku melihat seorang pria berbadan tegap berdiri di depanku.
” Ayah sudah pulang. Kemana saja ayah 3 hari ini?.” Kataku.
” Apa urusanmu menanyakanku. Urus saja dirimu sendiri.” Jawab ayah.
” Aku khawatir dengan ayah. Pasti ayah mabuk-mabukkan lagikan. Harusnya ayah berubah.” Kataku pada ayah.
Tak sempat aku melanjutkan kata-kataku. Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Tamparan dari seorang ayah yang kusayang sekaligus kubenci.
” Ayah...inikah kado yang ayah berikan kepadaku. Apakah ayah ingat ini hari ulang tahunku.” Aku menangis terisak.
” Maafkan ayah anakku. Ayah khilaf menamparmu.” Jawab ayah sambil memegang pipiku.
” Tidak ayah. Aku tidak akan pernah memaafkan ayah. Ayah jahat.” Balasku sambil melepaskan tangan ayah.
” Ayah minta maaf sayang. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi.”Ayah memeas padaku.
” Aku tak percaya lagi pada ayah . Aku benci ayah. Aku tak mau melihat ayah lagi. Mulai sekarang kau bukan ayahku lagi.” Marahku
Aku berlari keluar rumah meninggalkan ayah. Teriakan ayah berusaha menahanku. Tapi aku tetap berlari tak mau mempedulikannya. Sampai-sampai aku menabrak laki-laki di ujung gang rumahku.
” Maaf mas. Saya terburu-buru. Kamu tidak apa-apakan.” Aku minta maaf padanya.
” Tidak. Lain kali hati-hati mbak.” Jawabnya.
Aku kembali berlari. Aku tidak mau kembali ke rumah itu lagi.
Hari ini aku membuka lembaran baru dalam hidupku. Setelah 17 tahun hidup tanpa ibu kini akupun harus hidup tanpa ayah. Aku berjalan menyusuri kota kesana kemari. Penderitaanku, kesedihanku, dan tangisanku memjadi satu. Akupun mulai menyalahkan Tuhan. Kenapa Dia memberikan cobaan begiu berat kepadaku. Untuk apa aku shalat selama ini.. aku kini benar-benar hidup dalam penderitaan. Waktu tak terasa telah beranjak malam. Setelah aku tidak melaksanakan shalat subuh akibat ketiduran tadi pagi. Akupun juga meninggalkan shalat dzuhur, Ashar, dan Maghrib.
” Percuma aku shalat kalau hidupku seperti ini.” Batinku memelas.
Hari demi hari kujalani hidupku dijalanan. Kini aku bukan aku yang dulu lagi. Kelakuanku kini juga tak ada ubahnya dengan ayahku. Aku telah meninggalkan shalat. Untuk makan aku harus mengamen. Setiap pagi aku mengamen bersama teman-temanku di jalan. Aku mulai mengenal narkoba. Entalah kenapa gadis sepertiku bisa hidup seperti ini. Aku tak bisa memenuhi keinginan ibu untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Bintang itu kini tak lagi bersinar...
Langit itu kini tak lagi menjadi peneduh...
Angkasa itu kini tak lagi bisa diharapkan...
Ya, itulah hidupku kini...
Kini akupun kembali menemui hidupku. Walau jauh berbeda dengan hidupku yang dulu. Kini usiaku pun hampir menginjak 20 tahun. Tiga tahun lamanya aku hidup dijalanan. Entah berapa banyak dosa yang aku lakukan. Akupun tidak tahu bagaimana keadaan ayahku kini. Apakah ia masih hidup. Walaupun aku membencinya namun aku masih menyimpan rasa sayang padanya. Aku ingin bertemu dengannya.
Entah mengapa hari ini aku malas sekali mengamen. Kalau aku mengamen setidaknya aku bisa mendapatkan uang untuk makanku hari ini. Rata-rata penghasilanku sehari bisa mencapai 50 ribu. Itu cukup untuk makan dan sewa rumahku.
” Malas sekali aku hari ini.” Desahku
Hari ini aku putuskan tidak mengamen. Aku ingin mencari sedikit hiburan. Tapi bukan hiburan yang dilakukan orang-orang saat ini. Shoping ke Mall atau tamasya ke tempat wisata. Aku hanya berjalan menelusuri lorong-lorng sempit di dekat daerahku tinggal. Sambil kembali mengingat kembali tentang hidupku. Mulai dari lahir, ditinggal ibu, bertengkar dengan ayah dan terakhir harus pergi dari rumah. Pergi dari rumah untuk memulai kehidupan baru. Kehidupan penuh dosa. Tapi aku senang menjalaninya. Dalam perjalananku kali ini. Aku melihat anak-anak yang bahagia dengan ibunya. Mereka bermain dan tertawa dalam pelukan ibunya. Andaikan saja aku bisa merasakan pelukan dari seorang ibu. Aku mengeluarkan sebuah foto kecil dari saku celanaku. Foto ibuku yang aku simpan sejak kecil. Air mataku kembali menetes melihat foto ibuku. Aku rindu sama ibu. Aku merasa bersalah dan ingin meminta maaf kepada ibuku karena aku tidak bisa memenuhi keinginannya.
”Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.” Suara Adzan
Suara adzan mengingatkanku shalat. Aku teringat shalat. Sudah lama aku tidak shalat. Entah mengapa aku kepingin shalat. Aku menghampiri suara adzan tersebut. Suara tersebut berasal dari sebuah Mushalla Nurul Islam tak jauh dari tempatku berdiri tadi. Aku melihat seorang laki-laki yang sedang mengumandangkan adzan.
”Laki-laki itu. Aku pernah melihatnya. Dimana ya?. Aku ingat dia laki-laki yang aku tabrak saat lari dari rumah.” Ucapku
Ya, lelaki itu adalah lelaki yang aku tabrak saat lari dari rumah. Laki-laki yang berwajah tampan. Tapi bukan ketampanannya yang membuat aku kagum dengannya. Namun suara adzan nya telah mampu mengingatkanku kepada Allah.
Saat ia melafazhkan kalimat...
”Hayya ’Alashallaah (Marilah mendirikan shalat)”
Aku menangis dibuatnya. Aku pingin shalat. Aku ingin menebus segala dosa-dosaku. Akupun terduduk di mushalla tersebut.
”Ya Allah, ampuni dosa-dosaku.” Aku tak kuasa menahan tangisku.
”Nak, kenapa kamu menangis. Ayo kita shalat.” Kehadiranku mengagetkanku. Dari penampilannya sepertinya ia adalah imam di mushalla ini.
”Saya tidak membawa perlengkapan shalat pak.” Balasku
”Alhamdulillah, di sini ada sarung dan mukena yang bisa kamu pakai.” Katanya
Tanpa pikir panjang akupun langsung mengambil wudhu. Aku merasa bahagia karena aku bisa shalat kembali. Aku bermohon kepada Allah agar Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku. Untuk ibu yang kini jiwanya telah tenang dan ayah yang tidak tahu entah dimana sekarang.
Selesai shalat aku bertemu dengan lelaki tadi yang mengumandangkan adzan.
”Assalamualaikum, ukthi. Siapa namamu?.” Sapa lelaki itu
”Waalaikum salam. Namaku Bintang. Nama mas sendiri siapa?.” Jawabku
”Hidayatullah. Tapi kau cukup memanggilku Dayat. Mungkin usia kita sama. Aku baru berumur 20 tahun.”
”Sama kita yat. Tapi bulan depan umurku baru 20 tahun tahun.”
”Kenapa kau tadi menangis?.”
”Kau melihatku menangis?.”
”Ya,bolehkah aku tahu kenapa kau menangis. Mungkin aku bisa membantumu.”
Entah mengapa aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku menceritakan semua kejadian yang aku alami kepadanya. Aku menceritakannya dari awal sampai akhir. Aku seperti telah lama dekat dengannya. Di dalam pikiranku dia adalah pemuda yang tampan dan juga baik. Apakah aku telah jatuh cinta padanya. Sehingga aku berani menceritakan ini semua. Bukankah yang aku ceritakan adalah aib dari keluargaku sendiri.
”Bintang, semua orang di dunia ini pasti punya kesalahan. Tak terkecuali diriku dan dirimu.
”Tapi dosaku terlalu banyak.”
”Bintang, kau harus yakin kalau ampunan Allah lebih luas dari dosamu. Kau ingat besok bulan apa.”
”Bulan September.”
”Bukan itu maksudku. Besok adalah bulan Ramadhan. Kau bisa memanfaatkan moment ini untuk bertaubat kepada Allah.” Katanya kepadaku.
”Terimakasih Dayat. Senang sekali aku bertemu denganmu.”
”Sama-sama Bintang.”
Aku bersyukur sekali dapat bertemu dengan Dayat. Dia menuntunku untuk kembali kepada jalan Allah.
Beduk Maghrib berkumandang. Tanda datangnya bulan Ramadhan. Kali ini aku tidak mau kehilangan Ramadhanku. Aku telah mempersipkan diri menyambut Ramadhan tahun ini. Sudah 3 tahun aku meninggalkan shalat dan puasa. Aku ingin bertobat kepada-Nya. Kini aku tak lagi tinggal di jalanan. Dayat sungguh baik padaku. Ia meminta ibunya untuk mengizinkan aku tinggal di rumahnya. Ia menyuruhku tidur di kamarnya. Ia sendiripun memilih tidur di kamar yang ada di mushalla Nurul Islam. Ibunya juga baik padaku. Ia banyak mengajarku tentang Islam. Mengajarku shalat sunnah dan juga mengaji. Aku merasa mendapatkan pengganti seorang ibu. Ibu yang baik padaku. Terima kasih Allah. Tak terasa detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Dan hari demi hari telah kulalui hidupku bersama keluarga baru. Tak terasa malam ini adalah malam takbiran. Untuk kesekian kali aku mendengar Dayat melafazhkan takbir, tahmid dan tahlil. Dulu suara adzannya telah membuka mata hatiku dan kini suara takbirnya telah mampu menguatkan imanku.
Aku melihat Dayat keluar dari mushalla. Ia menghampiriku. Dari usai shalat Isya aku duduk dibawah pohon kelapa di depan mushalla. Aku kepingin melihat bintang malam ini.
”Bintang. Nama yang bagus buatmu.”
”Terima kasih. Namamu juga bagus. Hidayatullah berarti hidayah dari Allah. Ya, kau adalah hidayah dari Allah buatku.”
”Kau bisa saja. Ohya, apa yang sedang kamu pikirkan dari tadi Bintang.”
”Aku sedang memikirkan ayahku. Dimanakah ia sekarang berada. Aku kangen sama dia.’
”Kau masih sayang pada ayahmu.”
”Entahlah, beberapa hari ini aku selalu teringat dengannya. Apakah ayah masih memikirkankan aku.”
”Aku yakin ia masih memikirkanmu dihatinya.”
”Darimana kau tahu.”
”Dari dirinya.”
”Dari dirinya? Maksudmu?.”
”Kau tahu tidak siapa tamu ayah malam hari ini.”
”Pengusaha travel itu maksudmu.”
”Ia adalah ayahmu.”
”Kau tidak membohongiku kan Dayat?”
”Apakah aku pernah membohongimu. Ceritanya panjang Bintang. Kau masih ingat peristiwa tabrakan itu. Aku adalah orang yang kau tabrak dulu. Setelah kau pergi aku melihat bapak yang sepertinya memanggilmu. Ia terjatuh dan iapun jatuh pingsan. Aku menolongnya dan membawanya ke rumahku. Ayahku mengobatinya. Setelah sadar ia menceritakan semua hal yang terjadi pada keluarga kami. Kini ayahmu bukan ayahmu yang dulu lagi. Ia telah menjadi hamba Allah yang shaleh. Ia juga seorang dermawan. Ia kini telah mampu merintis kembali usaha baru. Sebuah Biro Perjalanan Haji.”
Aku hanya bisa menangis mendengar semuanya. Benarkah yang diceritakan Dayat. Atau Dayat hanya sekedar menghiburku. Tapi Dayat tidak pernah berbohong padaku.
”Selamat Ulang Tahun anakku.” Tiba-tiba suara lelaki mengagettkanku
Lalu aku menoleh ke belakang dan...
”Ayah. Benarkah ini ayah.” Kataku seakan tak percaya.
”Ya ini ayah anakku.”
”Kenapa ayah tidak mencariku selama ini.”
”Maafkan ayah anakku. Ayah malu ketemu denganmu.”
”Tidak ayah. Aku yang minta maaf sama ayah. Aku seharusnya tidak meninggalkan ayah waktu dulu.” Aku memeluk ayah. Tak terasas air mataku membasahi kedua pipiku dan baju ayahku.
”Bintang anakku. Kau harus bersyukur karena Gusti Allah masih memberikan hidayah untuk ayahmu.” Kata ayah Dayat
”Ia paman. Aku ingin mengucapkan terimakasih pada keluarga paman yang telah banyak membantuku.”
”Sama-sama Bintang. Ini semua kami lakukan karena kau sudah seperti anak kami sendiri.”
”Hari ini seorang wanita bernama Bintang mendapatkan cinta besar dalam hidupnya. Cinta dari Allah, cinta dari seorang ayah, dan cinta dari orang-orang yang menyayanginya. Semua cinta itu terjadi di akhir Ramadhan.” Suara Dayat mencairkan suasana
”Dan kini di depan semua orang. Ayahmu, ayahku dan ibuku aku ingin memberikan cintaku kepadamu. Bintang maukah kau menjadi kekasihku. Semoga suatu saat nanti kita bisa bersama-sama mencari Cinta Allah.”
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Aku juga mempunyai perasaan yang sama dengannya.engannya. Malam itu kami semua larut dalam suasana takbir.
Allaahu Akbar 3x
Laa illaahaillallaah Wallaahu Akbar
Allaahu Akbar Walillaahilhamdu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar